Rent-to-Own Asia Series — Episode 1
“Dari krisis ke kreativitas — cara baru warga Amerika membeli rumah tanpa kredit bank (rent-to-own).”
rooma21.com, Jakarta, Di awal dekade 2000-an, pasar properti Amerika Serikat tampak seperti mesin uang tanpa batas. Semua orang bisa punya rumah — cukup tanda tangan, bayar sedikit di muka, lalu bank akan menutup sisanya. Tapi gelembung itu pecah keras pada 2008. Krisis subprime mortgage menggulung jutaan keluarga, bank bangkrut, dan harga rumah anjlok hingga lebih dari 30 persen dalam dua tahun, menurut laporan Federal Reserve Economic Data, 2009. Dari reruntuhan itulah lahir sebuah ide baru: bagaimana kalau rumah tidak langsung dijual, tapi disewa dulu dengan hak untuk membelinya nanti? Konsep inilah yang dikenal sebagai rent-to-own atau lease-to-own — sebuah jembatan antara mimpi memiliki rumah dan realitas kredit yang semakin sulit.
Awalnya, skema ini bukan strategi lembaga besar, melainkan muncul dari komunitas kecil dan investor individu yang melihat peluang di tengah kekacauan. Banyak keluarga kehilangan skor kredit yang hancur pasca-foreclosure, tapi masih punya pendapatan stabil. Para investor melihat celah: mereka bisa membeli properti murah hasil sitaan, menyewakannya, sambil memberi penyewa opsi membeli rumah itu beberapa tahun kemudian. Model ini tumbuh cepat sejak 2010, menurut Realtor.com dan CNBC Housing Report 2012, karena menawarkan harapan baru bagi mereka yang tersingkir dari sistem perbankan konvensional.
Baca Juga : Rent-to-Own: Solusi Beli Rumah Tanpa KPR untuk Milenial

Kisah rent-to-own di Amerika adalah kisah tentang eksperimen finansial dan keputusasaan manusia yang bertemu di satu titik: kebutuhan akan rumah. Skema ini kemudian menarik perhatian lembaga seperti HUD (U.S. Department of Housing and Urban Development) dan National Association of Realtors (NAR) yang melihatnya sebagai “jembatan kredit” bagi kelompok masyarakat berisiko, terutama mereka yang gagal memenuhi syarat KPR tradisional. Bahkan beberapa kota seperti Chicago dan Atlanta sempat mendorong versi lokalnya lewat program “lease with option to buy,” untuk membantu warga berpenghasilan menengah bertahan di tengah fluktuasi harga.
Namun seperti semua inovasi finansial di Amerika, rent-to-own juga punya sisi gelapnya. Banyak kontrak disusun tanpa pengawasan hukum yang jelas, dengan biaya tersembunyi dan syarat yang berat di pihak penyewa. Consumer Financial Protection Bureau (CFPB) bahkan mencatat peningkatan sengketa konsumen sejak 2014, terutama di wilayah selatan Amerika seperti Texas dan Georgia, di mana banyak penyewa akhirnya kehilangan rumah dan uang muka mereka sekaligus. Tapi meski penuh risiko, model ini tetap bertahan — bahkan berkembang — karena menyentuh satu hal paling mendasar dalam hidup orang Amerika: keinginan untuk punya tempat yang bisa disebut rumah.

Kini, setelah lebih dari satu dekade, rent-to-own di Amerika telah berevolusi. Dari eksperimen pasca-krisis menjadi industri bernilai miliaran dolar yang digerakkan oleh teknologi dan data. Startup seperti Divvy Homes dan Landis mengubah wajah bisnis ini menjadi lebih transparan dan terukur, dengan sistem AI-driven credit scoring yang menilai kemampuan beli calon penyewa lebih akurat dibanding sekadar laporan kredit lama (TechCrunch, 2022). Dari sini, dunia mulai menoleh ke Amerika — bukan hanya karena sejarahnya, tapi karena sistemnya berhasil membangun jembatan antara impian dan kenyataan. Dan dari sanalah model ini mulai menyeberang ke Asia.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri perjalanan lengkap sistem rent-to-own di Amerika: dari akar sejarahnya di masa krisis, struktur kontraknya yang unik (mulai dari lease-option hingga lease-purchase), hingga bagaimana gelombang baru startup proptech seperti Divvy dan Landis mengubah model lama menjadi ekosistem digital yang menginspirasi dunia. Kita juga akan melihat sisi gelapnya — kontrak yang menjerat penyewa, celah hukum, dan perdebatan regulasi — sebelum akhirnya menarik pelajaran berharga tentang bagaimana Asia, termasuk Indonesia, bisa mengadaptasi konsep ini dengan cara yang lebih adil dan berkelanjutan.
“Krisis subprime mortgage menghancurkan jutaan mimpi — tapi juga melahirkan cara baru untuk membangun harapan: memiliki rumah tanpa bergantung pada kredit bank.” — Federal Reserve Economic Data, 2009
Struktur dan Mekanisme Kontrak Rent-to-Own di Amerika
Dalam praktiknya, konsep rent-to-own di Amerika tidak sesederhana menyewa rumah lalu membelinya di akhir masa kontrak. Sistem ini punya struktur yang lebih kompleks, karena memadukan dua jenis perjanjian hukum: sewa dan opsi pembelian. Di sinilah lahir dua model utama yang paling dikenal: lease-option dan lease-purchase, dua istilah yang tampak mirip, tetapi memiliki konsekuensi hukum dan finansial yang sangat berbeda (Investopedia, 2023; Realtor.com, 2022).
Baca Juga : Panduan Lengkap Pembiayaan KPR: Fintech Mortgage di Era Baru
Pada skema lease-option, penyewa diberi hak — tapi bukan kewajiban — untuk membeli rumah di akhir masa sewa. Artinya, setelah jangka waktu 2 hingga 5 tahun, penyewa bisa memilih untuk membeli atau tidak membeli properti tersebut. Untuk mendapatkan hak ini, penyewa membayar option fee, biasanya berkisar 1–5 persen dari harga rumah. Uang ini tidak akan dikembalikan jika penyewa memutuskan untuk tidak melanjutkan ke tahap pembelian, tetapi akan dihitung sebagai bagian dari uang muka (down payment) jika transaksi jadi dilakukan. Model ini banyak disukai karena fleksibel, cocok bagi keluarga yang masih ingin memperbaiki skor kredit mereka sebelum mengajukan KPR penuh (Forbes Real Estate Council, 2021).

Berbeda dengan itu, lease-purchase bersifat lebih mengikat. Dalam kontrak jenis ini, penyewa wajib membeli rumah di akhir masa sewa. Semua ketentuan harga, tenor, dan mekanisme pembayaran biasanya sudah ditetapkan di awal. Karena sifatnya mengikat, model ini sering digunakan oleh investor institusional atau developer besar yang ingin memastikan likuiditas dan proyeksi pendapatan di masa depan. Namun, bagi penyewa, risikonya lebih tinggi: jika mereka gagal membeli, maka semua pembayaran yang telah dilakukan selama masa sewa — termasuk rent credit — bisa hilang (NAR Housing Report, 2019; The Balance, 2020).
Selain kedua model utama itu, kontrak rent-to-own di Amerika umumnya memiliki tiga elemen finansial penting yang menentukan hasil akhirnya:
- Option Fee seperti disebutkan sebelumnya, adalah tiket masuk untuk mendapatkan hak beli.
- Rent Credit adalah porsi tertentu dari sewa bulanan (biasanya 10–25 persen) yang diakumulasikan sebagai kredit pembelian di akhir masa sewa.
- Sementara Purchase Price Agreement menetapkan harga rumah sejak awal kontrak — sering kali dikunci berdasarkan nilai pasar saat kontrak ditandatangani, bukan pada harga masa depan (CNBC Real Estate, 2020).
Model ini memberi keuntungan ganda: penyewa bisa mengamankan harga rumah sebelum inflasi atau kenaikan properti, sementara pemilik tetap mendapat arus kas dari sewa bulanan. Namun, jika harga pasar properti turun, penyewa tetap harus membeli di harga yang sudah disepakati, sehingga potensi rugi menjadi nyata.
Dalam konteks hukum, rent-to-own di Amerika bukan bagian dari regulasi federal, melainkan tunduk pada hukum properti di tiap negara bagian. Karena itu, perlindungan penyewa sangat bervariasi. Beberapa negara bagian seperti Illinois, California, dan Florida memiliki aturan ketat yang mewajibkan kejelasan dokumen kontrak, escrow untuk option fee, serta pengawasan notaris. Sebaliknya, di wilayah selatan seperti Texas atau Georgia, kontrak masih bisa dijalankan tanpa lisensi broker, yang sering kali menimbulkan celah hukum (CFPB Annual Report, 2021; Urban Institute, 2022).
Baca Juga : Perubahan Broker: Agen Tradisional ke Korporasi & Proptech
Meski penuh variasi, struktur dasar rent-to-own di Amerika kini semakin distandarisasi berkat adopsi digital oleh perusahaan-perusahaan proptech besar. Platform seperti Divvy Homes dan Landis bahkan menyediakan dashboard transparan di mana penyewa bisa melihat progres kredit mereka setiap bulan, termasuk estimasi kapan mereka akan memenuhi syarat untuk membeli rumah sepenuhnya (TechCrunch, 2022; Business Insider, 2023).
Sederhananya, sistem rent-to-own di Amerika adalah hasil dari eksperimen hukum, teknologi, dan pasar yang akhirnya menemukan keseimbangannya sendiri: cukup fleksibel untuk masyarakat, tapi cukup terstruktur bagi investor. Model inilah yang kelak menjadi inspirasi bagi versi Asia — di mana fleksibilitas dan inovasi pembiayaan sering kali lebih dibutuhkan daripada birokrasi kredit.
Era Disrupsi: Rent-to-Own dan Proptech di Amerika
Perjalanan rent-to-own di Amerika tak berhenti di ruang kontrak hukum dan investor individu. Sekitar 2016, gelombang startup baru mulai masuk membawa cara pandang yang sepenuhnya berbeda. Mereka melihat bahwa skema ini punya potensi besar — bukan hanya sebagai solusi alternatif pembiayaan rumah, tapi juga sebagai bisnis teknologi finansial dengan data pengguna yang masif. Dari sinilah lahir generasi baru perusahaan proptech rent-to-own seperti Divvy Homes, Landis, dan ZeroDown, yang mengubah model lama menjadi ekosistem digital yang sepenuhnya transparan dan berbasis data (TechCrunch, 2022; Bloomberg HousingTech, 2023).

Startup seperti Divvy Homes memanfaatkan algoritma penilaian risiko yang jauh lebih canggih dibanding sistem kredit konvensional. Mereka menganalisis ratusan variabel — mulai dari riwayat pembayaran sewa, arus kas rekening bank, hingga pengeluaran rutin pengguna — untuk menilai kelayakan calon pembeli. Dengan sistem ini, banyak keluarga yang sebelumnya ditolak bank kini bisa lolos tahap awal seleksi dan menempati rumah impian mereka. Menurut laporan Business Insider, 2023, lebih dari 75 persen penyewa Divvy berhasil membeli rumah dalam waktu tiga tahun, angka yang hampir dua kali lipat dibanding sistem tradisional lease-option di pasar bebas.
Baca Juga : Harga Properti Makin Mahal? Beli Sekarang atau Tunda?
Model bisnisnya juga lebih adaptif. Perusahaan seperti Landis, yang didukung oleh Goldman Sachs dan Sequoia Capital (Forbes Real Estate, 2022), membeli rumah atas nama calon penyewa, lalu menyewakannya sambil membantu mereka memperbaiki skor kredit dan keuangan pribadi. Setiap bulan, penyewa dapat memantau progres mereka lewat mobile dashboard: berapa persen kepemilikan yang sudah mereka capai, kapan mereka siap mengambil KPR final, dan berapa proyeksi harga beli optimal berdasarkan kondisi pasar. Transparansi ini menciptakan kepercayaan baru di pasar, terutama bagi generasi muda yang lebih melek digital dan menuntut kontrol penuh atas data finansial mereka.
Sementara itu, startup seperti ZeroDown membawa ide yang lebih radikal. Mereka menggabungkan konsep rent-to-own dengan sistem subscription housing — di mana pengguna membayar biaya bulanan untuk “menabung” kepemilikan rumah sambil tetap bisa berpindah lokasi sesuai gaya hidup mereka (Wall Street Journal, 2022). Skema ini menyasar profesional muda dan pekerja remote yang tidak ingin terikat cicilan jangka panjang, tetapi tetap ingin membangun aset. Dengan pendanaan lebih dari USD 100 juta, ZeroDown menjadi pionir yang membuktikan bahwa kepemilikan rumah tidak harus statis dan permanen.
“Ketika algoritma mulai memahami manusia lebih baik daripada bank, akses terhadap rumah menjadi lebih inklusif.” — TechCrunch HousingTech, 2022
Inovasi ini membawa rent-to-own keluar dari stigma masa lalu sebagai “kontrak darurat untuk yang gagal KPR,” menjadi produk keuangan yang sah dan modern. Bahkan beberapa lembaga keuangan besar seperti Fannie Mae mulai melirik integrasi sistem ini ke dalam pipeline pembiayaan mereka, terutama untuk program credit transition (Fannie Mae Housing Report, 2023). Perubahan ini menunjukkan bahwa batas antara renter dan owner kini semakin kabur — dan mungkin, di masa depan, akan benar-benar hilang.
Namun, di balik semua kemajuan itu, ada satu hal yang paling menarik: transformasi mindset. Dulu, rent-to-own dianggap solusi bagi mereka yang “tidak cukup bankable.” Sekarang, berkat teknologi, model ini menjadi alternatif gaya hidup finansial — lebih fleksibel, data-driven, dan personal. Dari sinilah Asia mulai belajar. Negara-negara seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand melihat peluang untuk meniru sistem ini, menyesuaikannya dengan nilai, regulasi, dan pasar mereka sendiri. Karena jika Amerika adalah tempat rent-to-own dilahirkan, maka Asia adalah tempat di mana ia benar-benar dewasa.
Tantangan dan Kritik terhadap Rent-to-Own di Amerika
Di balik kisah sukses dan inovasinya, rent-to-own di Amerika menyimpan sisi gelap yang tak kalah menarik. Sistem yang lahir dari niat membantu justru sering kali berakhir menjerat mereka yang paling lemah secara finansial. Di banyak wilayah, terutama di negara bagian selatan seperti Texas, Georgia, dan Ohio, praktik ini sempat menjadi ladang bagi perusahaan oportunistik yang memanfaatkan impian orang untuk memiliki rumah tanpa proses perbankan rumit. Consumer Financial Protection Bureau (CFPB) dalam laporannya tahun 2021 mencatat lonjakan pengaduan terkait skema lease-option yang menipu — di mana penyewa dipaksa menandatangani kontrak tanpa pendamping hukum, atau dijebak dalam syarat yang mustahil mereka penuhi (CFPB Annual Report, 2021; The New York Times, 2019).

Masalah terbesar muncul dari celah hukum. Karena tidak termasuk kategori pembiayaan hipotek tradisional, rent-to-own berada di area abu-abu antara transaksi jual beli dan sewa. Banyak negara bagian tidak memiliki regulasi spesifik untuk model ini, sehingga pengawasan sering kali longgar. Akibatnya, muncul kasus di mana perusahaan properti membeli rumah tua dengan harga murah, lalu menyewakannya dengan janji “pasti bisa dimiliki,” padahal kontraknya menumpuk biaya perbaikan, pajak, dan penalti tersembunyi yang membuat pembeli gagal di tengah jalan (Urban Institute Policy Brief, 2021). Ironisnya, ketika mereka gagal membeli, semua uang sewa dan option fee hangus begitu saja.
Salah satu kasus paling terkenal terjadi pada perusahaan Vision Property Management, yang digugat oleh Federal Trade Commission (FTC) dan CFPB pada 2019 karena menipu ribuan keluarga di 24 negara bagian. Mereka menjual rumah rusak tanpa izin, menulis kontrak yang tidak sesuai hukum properti, dan menagih biaya “pemeliharaan wajib” yang tak pernah digunakan untuk perbaikan. Banyak keluarga akhirnya kehilangan puluhan ribu dolar tanpa pernah benar-benar memiliki rumah yang mereka bayarkan (FTC Docket 2019; ProPublica Housing Investigation, 2020). Kasus ini menjadi titik balik bagi pemerintah federal untuk mulai mendorong pengawasan ketat terhadap perusahaan rent-to-own, terutama yang beroperasi lintas negara bagian.
Namun tidak semua kritik bersifat destruktif. Beberapa lembaga riset justru melihat masalah ini sebagai tanda bahwa sistem RTO sudah cukup besar untuk butuh regulasi formal. Urban Institute dan Brookings Institution dalam laporan gabungannya tahun 2022 menyarankan pembentukan kerangka hukum baru yang menempatkan rent-to-own di bawah pengawasan Department of Housing and Urban Development (HUD) — dengan standar transparansi kontrak, escrow account wajib untuk option fee, serta perlindungan konsumen mirip pembiayaan KPR. Tujuannya bukan untuk mengekang, tapi memastikan bahwa inovasi finansial tidak lagi bergantung pada kepercayaan semata.
Di sisi sosial, tantangan lainnya adalah persepsi. Meski sudah banyak startup proptech memperbaiki citranya, sebagian masyarakat Amerika masih menganggap rent-to-own sebagai “solusi kelas dua” bagi mereka yang gagal dapat kredit bank. Padahal, dalam survei CNBC Real Estate Outlook 2023, lebih dari 58 persen milenial Amerika menyatakan lebih tertarik pada model kepemilikan fleksibel seperti RTO karena memberikan waktu untuk menstabilkan keuangan tanpa tekanan cicilan. Perubahan persepsi ini penting, karena hanya dengan pandangan baru masyarakat bisa melihat rent-to-own bukan sebagai kompromi, tapi sebagai pilihan rasional di era inflasi tinggi dan suku bunga kredit yang terus naik.
Faktanya, setiap inovasi keuangan pasti punya sisi risiko — begitu juga rent-to-own. Tapi yang membedakan antara jebakan dan solusi adalah sejauh mana regulasi, teknologi, dan etika bisnis bisa berjalan seimbang. Amerika sudah melewati fase eksperimentalnya: dari “wild west” kontrak pribadi, menuju sistem yang lebih transparan dan diawasi. Namun, kisahnya memberi satu pesan penting bagi negara lain yang ingin mengadopsinya: jangan menunggu sampai ribuan orang jatuh ke lubang yang sama sebelum membangun pagar hukumnya.
Pelajaran Global dari Model Rent-to-Own Amerika
Setelah melewati fase jatuh bangun, Amerika akhirnya berhasil membawa rent-to-own keluar dari bayang-bayang eksperimen pasca-krisis, menjadi model pembiayaan alternatif yang kini diakui dunia. Dari pasar yang semula dianggap “liar” dan penuh risiko, muncul ekosistem baru yang memadukan hukum, keuangan, dan teknologi dalam satu napas. Negara-negara lain, terutama di Asia, mulai menoleh ke sana — bukan untuk meniru mentah-mentah, tapi untuk memetik pelajaran penting dari apa yang sudah dilalui Amerika (World Bank Housing Report, 2023; Knight Frank Global Living Index, 2022).
Pelajaran pertama adalah tentang peran regulasi sebagai fondasi keberlanjutan. Amerika menunjukkan bahwa inovasi finansial tanpa pengawasan bisa berakhir bencana. Program rent-to-own baru bisa tumbuh sehat setelah kehadiran Consumer Financial Protection Bureau (CFPB) dan Department of Housing and Urban Development (HUD) memperjelas posisi hukum, hak penyewa, dan batasan tanggung jawab pemilik properti (CFPB Policy Update, 2021). Bagi negara lain, terutama yang ingin meniru model ini, poin pentingnya jelas: jangan mulai tanpa kerangka hukum. Inovasi yang baik justru harus berjalan berdampingan dengan regulasi yang matang.
Pelajaran kedua datang dari disiplin data dan transparansi. Amerika mengajarkan bahwa kepemilikan rumah modern tidak lagi bisa mengandalkan penilaian subyektif atau dokumen kertas. Startup seperti Divvy Homes dan Landis membuktikan bahwa dengan algoritma penilaian risiko berbasis data, calon pembeli yang sebelumnya “tidak terlihat” oleh sistem perbankan bisa diakomodasi. Model AI credit scoring ini kemudian menjadi inspirasi bagi banyak negara di Asia, termasuk Malaysia dan Filipina, untuk membangun sistem serupa yang lebih inklusif (TechCrunch, 2022; Business Insider, 2023). Transparansi yang sama juga menjadi alasan mengapa model ini mulai dipercaya investor besar, karena semua alur uang, escrow, dan kredit tercatat secara real time.
Pelajaran ketiga — dan mungkin yang paling berharga — adalah pentingnya keseimbangan antara aksesibilitas dan perlindungan. Di awal, rent-to-own berkembang karena membuka jalan bagi masyarakat non-bankable untuk punya rumah. Namun, tanpa pengawasan, banyak yang justru terjebak dalam kontrak eksploitatif. Reformasi hukum yang dilakukan Amerika sejak 2018 membuktikan bahwa membuka akses saja tidak cukup; setiap pintu yang dibuka harus dijaga agar tidak berubah jadi jebakan (Urban Institute Policy Brief, 2021; FTC Docket, 2019). Asia mengambil pelajaran ini dengan serius — Malaysia dan Thailand bahkan mulai mensyaratkan escrow account dan audit legal wajib untuk setiap transaksi sewa-beli.
Pelajaran terakhir adalah tentang mindset generasi baru. Di Amerika, transformasi rent-to-own bukan hanya soal hukum atau teknologi, tapi juga cara pandang terhadap kepemilikan. Generasi milenial dan Gen Z mulai melihat rumah bukan lagi sekadar aset statis, tapi ruang hidup yang fleksibel. Model lease-to-own memberi mereka kendali atas waktu, lokasi, dan keuangan tanpa kehilangan arah menuju kepemilikan penuh. Dalam survei CNBC Real Estate Outlook 2023, 63 persen responden berusia 25–40 tahun menganggap rent-to-own sebagai “jalan masuk” paling realistis menuju rumah pertama mereka, dibanding mengajukan KPR langsung di tengah suku bunga tinggi. Tren ini kemudian menular ke Asia, di mana gaya hidup urban dan kenaikan biaya hidup membuat fleksibilitas menjadi kata kunci baru dalam industri properti.
“Amerika melahirkan ide rent-to-own dari krisis. Tapi di Asia, konsep itu tumbuh menjadi harapan yang matang.” — Rooma21 Editorial Insight, 2025
Jika Amerika adalah tempat di mana rent-to-own lahir dari krisis, maka Asia adalah panggung di mana konsep itu menemukan kedewasaannya. Negara-negara seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura kini mengadaptasi model ini dengan caranya masing-masing: ada yang berbasis perbankan, ada yang didorong pemerintah, ada pula yang tumbuh dari inisiatif pengembang swasta. Tapi semuanya punya benang merah yang sama — mencoba membangun jembatan antara impian memiliki rumah dan realitas finansial yang makin menantang.
📚 Daftar Pustaka & Referensi
- Federal Reserve Economic Data (2009). Laporan dampak krisis subprime mortgage terhadap pasar perumahan AS.
- Realtor.com (2012). Post-Crisis Housing Recovery and the Rise of Lease-to-Own.
- CNBC Housing Report (2012, 2020, 2023). Analisis pasar properti Amerika dan tren kepemilikan fleksibel.
- U.S. Department of Housing and Urban Development (HUD). Panduan program Lease with Option to Buy.
- National Association of Realtors (NAR) (2015, 2019). Laporan tahunan perkembangan pasar residensial dan mekanisme lease-purchase.
- Forbes Real Estate Council (2021, 2022). The Future of Alternative Home Financing dan studi kasus Landis.
- Investopedia (2023). Lease-Option vs Lease-Purchase: Understanding the Difference.
- Consumer Financial Protection Bureau (CFPB) (2021, 2022). Annual Report dan Policy Update terkait sengketa RTO dan perlindungan konsumen.
- The New York Times (2019). How Rent-to-Own Went Wrong in the American South.
- Urban Institute (2021, 2022). Policy Brief: Modernizing the Rent-to-Own Framework.
- Federal Trade Commission (FTC) (2019). Docket laporan kasus Vision Property Management.
- ProPublica Housing Investigation (2020). Inside the Rent-to-Own Scam That Cost Families Their Homes.
- TechCrunch (2022). How Divvy Homes and Proptech Startups Are Reinventing Rent-to-Own.
- Bloomberg HousingTech (2023). Proptech and the New Era of Home Financing.
- Business Insider (2023). How Divvy Helps Renters Become Homeowners.
- Wall Street Journal (2022). ZeroDown and the Subscription-Based Housing Revolution.
- Fannie Mae (2023). Housing Report: Credit Transition and Nontraditional Ownership Models.
- World Bank (2023). Housing Policy and Access to Homeownership.
- Knight Frank (2022). Global Living Index: Flexible Ownership Trends in Major Economies.
- CNBC Real Estate Outlook (2023). Survei persepsi milenial terhadap model kepemilikan rumah alternatif.
Visit www.rooma21.com Rooma21 bukan sekadar platform properti. Kami hadir sebagai referensi real estate, mortgage & realtor yang relevan dengan gaya hidup dan aspirasi generasi masa kini.
Rooma21 | The Best Realtor – Greater Jakarta | Specialist Township, TOD Apartment & Established Residential Area South Jakarta.

Komentar