Rooma21 Blog

Belum login? Masuk untuk akses penuh

Pencarian

Akun

Login Daftar

Evolusi Broker Properti: Dari Agen ke Proptech Global

25 October 2025
246 views
Evolusi Broker Properti: Dari Agen ke Proptech Global

Rooma21.com, Jakarta – “Bagaimana Model Broker Tradisional Berubah ke Korporasi dan Ekosistem Proptech”

Saat Dunia Broker Berubah Wajah

Dunia broker properti sedang mengalami perubahan besar—bukan sekadar soal teknologi, tapi soal cara pandang terhadap profesi itu sendiri. Jika dulu seorang agen dianggap sebagai ujung tombak industri, kini peran itu perlahan bergeser. Bukan lagi individu yang menentukan arah bisnis, melainkan sistem, data, dan platform yang menopang seluruh ekosistem. Pergeseran ini tidak terjadi dalam semalam, melainkan hasil proses panjang yang dimulai puluhan tahun lalu.

Pada dekade 1970–1980-an, industri real estate di Amerika Serikat mulai menata dirinya melalui lembaga besar seperti National Association of REALTORS® (NAR). Mereka memperkenalkan sistem Multiple Listing Service (MLS), yang memungkinkan broker berbagi data listing secara terpusat. Dari sinilah konsep kerja sama antarkantor lahir: setiap broker tidak lagi bekerja sendirian, melainkan dalam jaringan formal yang diatur oleh etika profesi dan lisensi negara bagian. (Sumber: NAR Historical Archives – “Origins of MLS”, 2023).

Baca Juga : MLS 1.0: Zaman Ketika Broker Properti Menyembunyikan Data

Inovasi itu mengubah segalanya. MLS menjadikan data sebagai aset utama industri—dan sejak saat itu, real estate tidak lagi hanya soal kemampuan menjual, tapi juga soal mengelola informasi. Para broker mulai membangun kantor, sistem manajemen, dan tim profesional yang bekerja di bawah satu payung hukum. Inilah cikal bakal model korporasi dalam industri properti, di mana tanggung jawab hukum dan transaksi tidak lagi melekat pada individu, tetapi pada entitas bisnis yang berizin resmi.

Namun seiring berkembangnya internet di akhir 1990-an dan awal 2000-an, pola bisnis kembali berubah. Konsumen mulai mencari rumah lewat web, bukan lewat agen. Broker tradisional yang dulu memegang data eksklusif mulai kehilangan kendali atas informasi pasar. Situs seperti Realtor.com (NAR), Zillow, dan Trulia membuka data ke publik, sementara generasi baru broker seperti Redfin dan eXp Realty mulai menanamkan teknologi sebagai inti operasional mereka. Bagi mereka, brokerage bukan sekadar profesi, tapi platform digital yang menghubungkan, menganalisis, dan menstandarkan kepercayaan. (Sumber: Redfin Investor Report 2023; eXp Global Handbook 2024).

Sementara itu, di belahan dunia lain seperti Eropa dan Asia, perubahan ini datang dengan cara yang berbeda. Di Eropa, profesi broker dianggap bagian dari sistem hukum, sehingga lebih cepat bertransformasi ke arah corporate governance dan kepatuhan etika. Di Asia—terutama di China—pergeseran justru terjadi karena faktor teknologi. Saat Beike (Lianjia) memperkenalkan sistem listing terpusat dan AI-driven brokerage pada 2018, industri yang dulu sangat terfragmentasi langsung terkonsolidasi. Broker individu yang sebelumnya bekerja sendiri-sendiri mulai tergabung ke dalam jaringan korporasi digital dengan tata kelola mirip perusahaan sekuritas. (Sumber: Beike Investor Prospectus 2023; China Real Estate Association, “Digitalization of Brokerage”, 2023).

Baca Juga Rent-to-Own: Solusi Beli Rumah Tanpa KPR untuk Milenial

Kini, memasuki dekade 2020-an, dunia broker sudah berubah wajah sepenuhnya. Ia tidak lagi berdiri sebagai profesi tradisional yang bergantung pada reputasi personal, melainkan sebagai bisnis berbasis teknologi dan tata kelola. Para pemain besar tak lagi berlomba dalam jumlah agen, tetapi dalam kecanggihan sistem, integrasi data, dan efisiensi proses. Generasi baru pelaku industri—terutama Gen Z yang tech-heavy dan data-minded—tidak lagi melihat “menjadi agen” sebagai karier akhir, melainkan sebagai batu loncatan menuju platform ownership.

“Broker bukan lagi orang yang membawa daftar rumah; ia adalah operator sistem kepercayaan yang menghubungkan data, manusia, dan keputusan.”

Artikel ini akan membahas pergeseran besar dalam model bisnis broker properti global, dari masa ketika profesi ini masih dijalankan secara individual hingga berubah menjadi sistem korporasi, dan kini memasuki fase baru yang sepenuhnya digerakkan oleh teknologi. Transformasi ini tidak hanya soal cara orang menjual rumah, tapi juga tentang bagaimana kepercayaan, data, dan lisensi dikelola di berbagai belahan dunia.

Melalui pendekatan historis dan perbandingan lintas kawasan, tulisan ini akan mengurai tiga tahap evolusi industri broker. Pertama, bagaimana Amerika Serikat membangun fondasi modern lewat sistem Multiple Listing Service (MLS) dan asosiasi seperti National Association of REALTORS® (NAR) yang menstandardisasi etika, lisensi, dan kolaborasi antarbroker. Kedua, bagaimana Eropa membentuk model corporate brokerage yang lebih ketat secara hukum dan akuntabilitas, dengan regulasi seperti UK Estate Agents Act 1979 dan NTSELAT Guidelines yang menjadikan kantor broker sebagai subjek hukum utama. Ketiga, bagaimana Asia—terutama China—melompat langsung ke era digital melalui platform seperti Beike (Lianjia) yang memadukan lisensi, data, dan proptech dalam satu sistem ekosistem tertutup.

Baca Juga : Akhir Dominasi MLS Model Baru Compass Ubah Industri Properti

Selain melihat perubahan struktural, artikel ini juga menyoroti faktor sosial yang mempercepat transisi: pergeseran generasi. Gen Z dan milenial akhir yang tech-heavy tumbuh di era digital di mana data lebih dipercaya daripada kata-kata agen. Mereka tidak ingin sekadar menjadi “salesman rumah”, melainkan membangun sistem, aplikasi, dan platform yang bisa membuat transaksi properti berlangsung otomatis, transparan, dan bisa diaudit.

Dengan membandingkan ketiga kawasan—Amerika, Eropa, dan Asia—kita akan melihat bahwa arah masa depan industri ini sama: menuju proptech governance, di mana profesionalisme tidak lagi diukur dari siapa yang paling banyak menjual, tetapi dari siapa yang paling bisa dipercaya untuk mengelola data, etika, dan kepercayaan publik.

“Evolusi industri broker bukan tentang mengganti manusia dengan mesin, tapi tentang mengubah kepercayaan menjadi sistem yang bisa diandalkan lintas generasi.” Amerika Serikat: Dari MLS ke Korporasi

Tidak ada negara yang membentuk wajah industri broker modern sekuat Amerika Serikat. Di sinilah konsep kolaborasi antarbroker lahir, lisensi profesional distandardisasi, dan etika kerja agen dijadikan bagian dari hukum. Sejak awal abad ke-20, profesi real estate agent diatur secara ketat di bawah National Association of REALTORS® (NAR), organisasi yang berdiri sejak 1908 dan kini menaungi lebih dari 1,5 juta anggota. NAR memperkenalkan prinsip yang sederhana tapi revolusioner: “The agent doesn’t own the listing — the broker does.” Dari sinilah lahir struktur hierarkis antara broker dan agent yang kita kenal hari ini. (Sumber: NAR Historical Timeline, 2024; The Code of Ethics & Standards of Practice, NAR, 2023).

Transformasi terbesar terjadi ketika Multiple Listing Service (MLS) mulai digunakan secara luas pada 1960–1970-an. Sistem ini mengubah cara broker bekerja: listing properti yang dulunya bersifat pribadi kini dibagikan ke seluruh anggota asosiasi. Broker tak lagi bersaing lewat sembunyi-sembunyi data, tetapi lewat kecepatan pelayanan dan kepercayaan. MLS menjadikan industri real estate sebagai sistem kolaborasi resmi berbasis data, dan prinsip data transparency itu menjadi fondasi semua model bisnis broker di dunia.

Regulasi di setiap negara bagian memperkuat sistem ini. Di California misalnya, Business and Professions Code §10131 menetapkan bahwa hanya Real Estate Broker License holder yang berwenang melakukan transaksi, menegosiasikan harga, atau menandatangani kontrak. Agent individu hanya boleh bekerja di bawah pengawasan broker berlisensi. Pola dua tingkat ini—broker dan salesperson—menjadi model hukum standar di seluruh AS, menegaskan bahwa bisnis properti bukan aktivitas perorangan, melainkan bisnis yang dijalankan oleh entitas berizin resmi. (Sumber: California Department of Real Estate – Business & Professions Code §10131, Updated 2024.)

Baca Juga : (MLS) Multiple Listing Service | Solusi Pasar Properti

Memasuki 1990–2000-an, perubahan besar berikutnya datang dari arah korporasi. Munculnya jaringan besar seperti RE/MAX, Coldwell Banker, dan Century 21 memperkenalkan model franchise yang menempatkan broker sebagai pusat manajemen bisnis, bukan sekadar perantara transaksi. Agen bekerja di bawah payung brand yang kuat, dilatih secara formal, dan diberi sistem pendukung seperti CRM, marketing toolkit, dan pembagian komisi terstruktur. Industri mulai bertransformasi dari profesi personal menjadi organisasi profesional.

Namun puncak revolusi justru terjadi dua dekade kemudian. Setelah krisis finansial 2008, pasar real estate Amerika menuntut efisiensi dan transparansi baru. Dari situ lahir generasi baru perusahaan broker berbasis teknologi seperti Compass, Redfin, dan eXp Realty. Mereka tidak hanya memfasilitasi transaksi, tetapi membangun digital ecosystem di mana data, algoritma harga, perilaku konsumen, hingga potensi penjualan diolah secara real-time. Compass menempatkan diri sebagai tech-enabled brokerage dengan model analitik mirip perusahaan investasi; Redfin menjadi pelopor transparansi harga dan buyer insight; sementara eXp Realty, lewat sistem cloud brokerage, membuktikan bahwa sebuah perusahaan real estate global bisa beroperasi tanpa satu pun kantor fisik. (Sumber: Compass Global Report 2024; Redfin Investor Relations 2023; eXp Realty Global Handbook 2024).

Model baru ini tidak hanya mengubah cara kerja broker, tapi juga cara industri melihat dirinya sendiri. Agent kini bukan hanya “penjual rumah”, tapi operator data. Broker bukan hanya pemegang lisensi, tapi arsitek sistem yang menyatukan ribuan transaksi dalam satu ekosistem digital. MLS, yang dulu sekadar alat berbagi data, kini menjadi tulang punggung bagi analitik pasar, machine learning, bahkan integrasi AI generatif untuk memahami pola konsumen.

Perubahan tersebut juga mengguncang struktur etika dan ekonomi lama. Setelah gugatan besar terhadap NAR pada 2023–2024 terkait sistem komisi, model 6% tradisional mulai ditinggalkan. Pasar bergerak ke arah performance-based fee dan client-first model, di mana transparansi dan nilai tambah menjadi faktor utama, bukan sekadar jaringan personal. Ini menandai titik balik: industri real estate Amerika resmi memasuki era proptech dengan DNA hukum dan etika yang kuat. (Sumber: NAR Settlement Case Report, Bloomberg 2024; PwC Real Estate Outlook 2025.)

“Di Amerika, evolusi broker dimulai dari data, dikokohkan oleh etika, dan kini digerakkan oleh teknologi. MLS adalah masa lalu; proptech adalah masa depan yang sedang berlangsung.”Eropa — Dari Franchise Tradisional ke Regulated Corporate Brokerage

Eropa: Franchise Tradisional ke Regulated Corporate Brokerage

Evolusi Broker Properti Dari Agen ke Proptech Global
Franchise Tradisional ke Regulated Corporate Brokerage

Kalau Amerika membangun industri broker lewat inovasi dan kompetisi pasar, Eropa menempuh jalur berbeda: lewat regulasi dan etika profesi. Di benua ini, bisnis properti sejak awal dianggap bagian dari sistem hukum dan perlindungan konsumen, bukan sekadar aktivitas jual-beli. Karena itu, peran agen real estate diatur ketat, dan yang diakui secara hukum bukanlah individu, melainkan perusahaan agen yang memiliki registrasi resmi dan memenuhi standar profesional tertentu.

Di Inggris, tonggak besarnya dimulai dari Estate Agents Act 1979, undang-undang yang hingga kini masih menjadi dasar legal utama industri properti. Aturan ini mewajibkan semua estate agency untuk terdaftar, memiliki struktur organisasi yang jelas, serta tunduk pada pengawasan HM Revenue & Customs (HMRC) dan National Trading Standards Estate and Letting Agency Team (NTSELAT). Setiap kantor broker harus punya asuransi tanggung gugat profesional (Professional Indemnity Insurance) dan sistem pencatatan transaksi yang bisa diaudit. Agen individu boleh bekerja, tapi hanya sebagai karyawan atau kontraktor di bawah lisensi perusahaan. (Sumber: UK Estate Agents Act 1979; NTSELAT Professional Guidance for Agents, 2024).

Sistem ini menciptakan kultur industri yang sangat berbeda dari Amerika. Di Inggris dan sebagian besar Eropa Barat, tidak ada konsep agent pribadi yang punya listing sendiri. Semua listing adalah milik perusahaan. Keterlibatan personal tetap penting dalam membangun kepercayaan, tapi tanggung jawab hukum dan administratif sepenuhnya dipegang oleh entitas bisnis. Model ini melahirkan keunggulan utama: akuntabilitas dan konsistensi layanan. Klien tidak lagi bergantung pada karakter individu, melainkan pada standar pelayanan perusahaan yang terukur.

all project township | rooma21

Memasuki 1990–2000-an, Eropa mengalami gelombang franchise global seperti ERA, Century 21, dan RE/MAX yang mencoba membawa pola Amerika ke pasar Eropa. Tapi karena Eropa sudah punya regulasi ketat, sistem franchise di sini tidak beroperasi sebebas di AS. Franchise boleh membangun brand, tapi harus tetap memenuhi lisensi lokal, standar etik, dan registrasi korporasi di masing-masing negara. (Sumber: CEPI European Federation of Real Estate Professions – “Professional Standards Across Europe”, 2023).

Dekade terakhir (2010–2020) menjadi masa transisi ke arah digitalisasi. Platform besar seperti Rightmove, Zoopla, dan SeLoger di Prancis memulai integrasi antara marketplace publik dan sistem broker internal. Mereka bukan lagi situs iklan, tapi bagian dari brokerage infrastructure: menampilkan listing sekaligus menyambungkan data agen, perizinan, dan rekam transaksi. Digitalisasi ini diperkuat oleh inisiatif CEPI (Conseil Européen des Professions Immobilières), federasi real estate Eropa yang kini menaungi lebih dari 250.000 profesional di 30 negara. CEPI mendorong konsep “regulated digital brokerage” — kombinasi antara tata kelola hukum dan teknologi digital yang memastikan setiap agen bekerja dalam sistem transparan, terstandar, dan lintas batas. (Sumber: CEPI Report: “Digitalization of the Real Estate Profession in Europe”, Brussels, 2023).

Di pasar seperti Belanda, Jerman, dan Prancis, bahkan mulai muncul konsep “corporate compliance brokerage”: perusahaan broker wajib memiliki petugas kepatuhan (compliance officer) yang bertugas memverifikasi kontrak, etika promosi, dan kepatuhan GDPR (General Data Protection Regulation). Dengan kata lain, broker di Eropa bukan hanya penjual rumah, tapi juga bagian dari ekosistem hukum yang menjamin keamanan data dan kepercayaan konsumen.

Model ini menghasilkan ekosistem real estate yang stabil dan dipercaya publik. Tidak ada lagi kesenjangan besar antara agen berpengalaman dan pemula; semua diikat oleh lisensi perusahaan dan pengawasan regulator. Meski lebih birokratis dibanding AS, sistem ini memberi dasar yang kuat untuk mengintegrasikan teknologi tanpa kehilangan kontrol etik dan hukum.

“Eropa membuktikan bahwa modernisasi tidak harus mengorbankan etika. Di sini, profesionalisme bukan soal siapa yang paling banyak menjual, tapi siapa yang paling patuh pada aturan.”

Asia & China: Dari Chaos ke Konsolidasi Digital

Pasar properti di Asia tumbuh pesat, tapi dulu sempat menjadi yang paling liar di dunia. Di banyak negara, industri broker tidak diatur secara ketat; siapa pun bisa menjadi agen, membuat brosur, dan menjual rumah. Sistem seperti ini menciptakan pasar yang luas, tapi penuh ketidakpastian. Listing ganda, klaim palsu, dan perebutan komisi menjadi hal biasa. Sebelum 2010, inilah wajah nyata industri properti Asia: dinamis, tapi kacau.

China adalah contoh paling dramatis dari fase itu. Setelah liberalisasi sektor properti pada awal 2000-an, ribuan kantor kecil bermunculan di setiap kota besar. Tidak ada database bersama, tidak ada kode etik yang mengikat. Agen bersaing harga dan sering kali memanipulasi informasi demi menutup transaksi. Tapi semua itu berubah ketika Lianjia (链家, dikenal global sebagai Beike) muncul dan mengubah industri secara total.

Didirikan pada 2001 oleh Zuo Hui, Lianjia awalnya hanya agen lokal di Beijing. Tapi sejak 2018, perusahaan ini bertransformasi menjadi platform proptech terbesar di Asia. Melalui situs dan aplikasi 贝壳找房 (Beike Zhaofang), mereka membangun sistem yang menghubungkan ribuan kantor broker dalam satu jaringan digital. Setiap listing diverifikasi, setiap agen terdaftar, dan setiap transaksi bisa dilacak secara real time. Lianjia menciptakan versi modern dari MLS, tapi bersifat tertutup dan dikelola korporasi — bukan asosiasi. (Sumber: Beike Holdings Ltd. Investor Prospectus 2023; China Real Estate Association, “Digital Brokerage Reform Report,” 2023).

Model Beike menggabungkan tiga unsur yang jarang disatukan: regulasi, data, dan kepercayaan. Perusahaan mewajibkan seluruh mitra broker mengikuti pelatihan dan kode etik internal. Transaksi dilakukan hanya melalui sistem perusahaan, yang terintegrasi dengan sistem notaris dan lembaga keuangan. Dengan pendekatan ini, Beike berhasil menghapus praktik double listing dan menciptakan transparansi yang belum pernah ada sebelumnya di pasar Asia. Kini mereka menguasai lebih dari 40% pangsa pasar brokerage urban di China, dan menjadi acuan global dalam mengelola industri real estate secara terpusat.

Fenomena ini segera menular ke negara lain di Asia. Di Singapura, regulator Council for Estate Agencies (CEA) memperkuat lisensi Real Estate Agency (REA) dan menerbitkan pedoman Marketing of Foreign Properties (2022) yang menegaskan bahwa semua kegiatan pemasaran harus dilakukan di bawah otoritas agen berlisensi. Di Korea Selatan, perusahaan seperti Zigbang dan Dabang mulai mengintegrasikan database listing dengan sistem verifikasi pemerintah lokal. Di Jepang, platform seperti SUUMO dan HOME’S menjembatani broker tradisional dengan sistem digital yang menghubungkan listing, data harga, dan preferensi konsumen melalui AI. (Sumber: CEA Singapore, 2022; PropertyGuru Asia Proptech Outlook 2024; PwC Emerging Trends in Asian Real Estate 2025).

Di Asia Tenggara, perubahan datang lewat jalur korporasi dan modal ventura. Perusahaan seperti PropertyGuru (Singapura), 99.co (Indonesia), dan Ohmyhome (Filipina) mendorong konsep tech-enabled agency—perusahaan broker yang tidak sekadar beriklan di platform, tapi menjadikan teknologi sebagai sistem kerja inti. Mereka memfasilitasi pipeline leads, CRM, training, bahkan laporan performa agen secara otomatis. Model ini menjadi jembatan antara sistem terbuka seperti di AS dan sistem tertutup seperti di China, menciptakan hybrid baru yang lebih sesuai dengan karakter pasar Asia yang beragam.

Satu hal yang membuat Asia unik adalah kecepatannya beradaptasi. Dalam satu dekade, industri yang tadinya sangat terfragmentasi kini berubah menjadi salah satu pasar properti paling digital di dunia. Namun, perubahan cepat ini juga membawa tantangan baru: ketimpangan digital dan risiko monopoli data. Ketika satu platform menguasai ribuan agen dan jutaan data konsumen, pertanyaan berikutnya bukan lagi soal efisiensi, tapi soal tata kelola—siapa yang mengontrol data, siapa yang menjamin transparansi, dan bagaimana sistem menjaga persaingan tetap sehat.

“Asia membuktikan bahwa teknologi bisa menggantikan kekacauan dengan keteraturan, tapi hanya hukum dan etika yang bisa menjaganya tetap adil.”

Pergeseran Generasi dan Masa Depan Proptech Governance

Evolusi Broker Properti Dari Agen ke Proptech Global
Cara Yang Berbeda antara Generasi Lama dan Generasi Baru

Setiap revolusi industri selalu dimulai bukan dari teknologi, tapi dari cara berpikir manusia terhadap pekerjaan dan nilai. Dunia broker properti kini ada di titik itu. Selama puluhan tahun, bisnis ini dibangun di atas keahlian personal, relasi, dan insting. Namun generasi baru yang kini masuk ke industri—khususnya millennial akhir dan Gen Z—datang dengan paradigma yang sama sekali berbeda: mereka tech-heavy, data-minded, dan system-driven.

Bagi generasi ini, kredibilitas tidak lagi diukur dari seberapa lama seseorang menjadi agen atau berapa banyak rumah yang berhasil dijual. Kredibilitas diukur dari data, transparansi, dan pengalaman pengguna. Mereka tumbuh dalam budaya digital di mana semua hal bisa diukur dan diverifikasi. Sementara generasi sebelumnya mungkin mengandalkan intuisi dan pertemuan tatap muka, Gen Z percaya pada metrik dan algoritma. (Sumber: PwC Global Emerging Trends in Real Estate 2025; McKinsey Proptech Adoption Report 2024).

Perubahan mindset ini membuat industri broker mengalami transisi terbesar dalam sejarahnya. Profesi yang dulunya berbasis individu kini bergeser menjadi ekosistem berbasis platform. Bagi banyak anak muda, menjadi “agen” bukan tujuan akhir. Mereka lebih tertarik membangun real estate platform, mengembangkan AI recommendation engine, atau menciptakan sistem CRM yang menghubungkan ribuan pengguna. Fenomena ini terlihat jelas di Amerika dan Asia, di mana startup proptech baru tumbuh dengan kecepatan luar biasa. Tahun 2024 saja, investasi global di sektor proptech mencapai lebih dari US$24 miliar, naik 40% dibanding dua tahun sebelumnya. (Sumber: CB Insights, Global Proptech Funding Report 2025).

Tapi yang lebih menarik bukan sekadar ledakan investasi, melainkan perubahan arah. Jika dulu teknologi hanya dipakai untuk promosi, kini teknologi menjadi kerangka tata kelola industri. Dunia properti sedang bergerak menuju fase baru yang disebut Proptech Governance—sebuah sistem di mana AI, data analytics, dan smart contract bukan hanya alat bantu, tapi juga penjaga integritas pasar. Setiap langkah, mulai dari verifikasi listing, identitas agen, hingga pelaporan transaksi, bisa diaudit secara digital. Di sinilah masa depan industri real estate akan menuju: kepercayaan yang dibangun oleh sistem, bukan oleh individu.

Baca Juga : Akhir Dominasi MLS Model Baru Compass Ubah Industri Properti

Namun perubahan besar ini juga membawa tanggung jawab baru. Jika di masa lalu masalah utama broker adalah reputasi personal, maka di era proptech, tantangannya adalah reputasi sistem. Siapa yang menjamin bahwa algoritma bekerja secara etis? Siapa yang memastikan bahwa data konsumen tidak disalahgunakan? Dan siapa yang bertanggung jawab jika keputusan AI salah menilai harga atau risiko pembelian? Pertanyaan-pertanyaan ini kini menjadi topik utama dalam laporan-laporan lembaga internasional seperti RICS (Royal Institution of Chartered Surveyors) dan World Economic Forum, yang mendorong penerapan AI Ethics & Data Transparency Framework di sektor properti. (Sumber: RICS Tech in Real Estate Report 2024; WEF Future of Urban Data, 2025).

Evolusi Broker Properti Dari Agen ke Proptech Global
Dari Personal Trust ke System Trust

Pada akhirnya, arah industri real estate tidak bisa dihindari: dari agent-centric ke customer-centric, dari personal trust ke system trust. Proptech tidak menggantikan manusia, tapi memaksa manusia bekerja dalam sistem yang lebih akurat, transparan, dan bertanggung jawab. Dan di era ini, perusahaan yang akan bertahan bukan yang paling besar atau paling lama berdiri, tapi yang paling bisa dipercaya untuk mengelola data, etika, dan kepercayaan digital.

“Generasi baru tidak lagi mencari profesi, mereka membangun ekosistem. Di masa depan, yang disebut broker bukan orangnya — tapi sistem yang mampu menjaga kepercayaan semua pihak.”

lunch-break-2

Sumber Informasi dan Referensi :

  1. National Association of REALTORS® (NAR) – Historical Archives: Origins of MLS, 2023; The Code of Ethics & Standards of Practice, 2023.
  2. California Department of Real Estate – Business and Professions Code §10131: Real Estate Broker Activity Definition, Updated 2024.
  3. Compass Global Report, 2024; Redfin Investor Relations, 2023; eXp Realty Global Handbook, 2024.
  4. Bloomberg – NAR Settlement Case and Real Estate Commission Reform, 2024.
  5. PwC Real Estate Outlook, 2025 – Global Transparency and Digital Brokerage Trend.
  6. UK Government Legislation Service – Estate Agents Act 1979, London.
  7. National Trading Standards Estate and Letting Agency Team (NTSELAT) – Professional Guidance for Agents, 2024.
  8. CEPI (Conseil Européen des Professions Immobilières) – Digitalization of the Real Estate Profession in Europe, Brussels, 2023.
  9. China Real Estate Association (CREA) – Digital Brokerage Reform Report, 2023.
  10. Beike Holdings Ltd. (Lianjia) – Investor Prospectus, Beijing, 2023.
  11. Council for Estate Agencies (CEA), Singapore – Practice Guidelines on Marketing of Foreign Properties, 2022.
  12. PropertyGuru Group – Proptech Outlook: Southeast Asia Market Analysis, Singapore, 2024.
  13. PwC – Global Emerging Trends in Real Estate 2025.
  14. McKinsey & Company – Proptech Adoption & Digital Real Estate Outlook 2024.
  15. CB Insights – Global Proptech Funding Report, 2025.
  16. RICS (Royal Institution of Chartered Surveyors) – Tech in Real Estate and AI Ethics Report, 2024
  17. World Economic Forum (WEF) – Future of Urban Data and AI Governance in Real Estate, 2025.

Visit www.rooma21.com : Your Proptech Partner in Real Estate, platform properti digital yang fokus pada teknologi dan customer experience

🏡 Rooma21 bukan sekadar platform properti. Kami hadir sebagai referensi real estate, mortgage & realtor di Indonesia, hadir untuk millenial dan genzie, dapatkan informasi rumah atau property recommended, news, artikel blog dan tv update, dilengkapi dengan lifetyle, travelling dan digital trend, yang menjadi favoritenya generasi muda.

Lunch Break - Realtor Series
Bagikan:

Artikel Realtor

Lihat Semua
Avatar Djoko Yoewono
Djoko Yoewono
Penulis Rooma21 17 artikel
Lihat Profil
Djoko Yoewono
+

Komentar

Memuat komentar...

Jangan Ketinggalan Info Properti Terbaru!

Dapatkan berita, tips, dan penawaran eksklusif langsung ke email Anda.