Rooma21 Blog

Belum login? Masuk untuk akses penuh

Pencarian

Akun

Login Daftar

Runtuhnya Sistem Lama: Dari Kapitalisme Neoliberal ke Krisis Makna

21 July 2025
28 views
Runtuhnya Sistem Lama: Dari Kapitalisme Neoliberal ke Krisis Makna
/p>

Algoritma membentuk selera, dan itu perlahan membentuk identitas. Kita scroll TikTok dan tahu tren baru, tapi nggak tahu sebenarnya kita suka atau cuma ikut. Kita edit foto sesuai tone viral, tapi lupa wajah asli kita yang dulu.

Jonathan Haidt, psikolog sosial asal AS, menunjukkan bagaimana sosial media mempercepat krisis identitas remaja. Mereka tumbuh dalam ruang yang terus menilai, menuntut, dan membandingkan. Banyak anak muda yang tahu apa yang trending, tapi bingung menjawab “gue sebenarnya siapa?”

Byung-Chul Han melengkapi gambaran ini dengan kritik bahwa kita hidup dalam tekanan menjadi “subjek yang bisa dijual”. Di media sosial, semua harus dikemas: wajah, suara, opini, gaya hidup—semua bisa jadi aset branding. Identitas pun dikomodifikasi. Tapi makin kita berusaha tampil sempurna, makin kosong rasanya di dalam.

Krisis ini bukan sekadar fenomena psikologis. Ini gejala sistemik. Ketika identitas tidak lagi dibangun dari dalam—dari pengalaman, relasi, nilai—tapi dikurasi dari luar, kita kehilangan orientasi dasar sebagai manusia.

Dan kalau manusia tak lagi tahu siapa dirinya, tak tahu apa yang diyakini, dan tak bisa membedakan antara yang otentik dan yang dipoles, maka kita sedang menghadapi sesuatu yang lebih dalam dari sekadar “disrupsi teknologi”.

Kita sedang masuk ke fase baru dari krisis modern: krisis kehilangan diri.

Selalu Online, Tapi Makin Sendirian: Krisis Relasi di Era Digital

Runtuhnya Sistem Kapitalisme Ekstrem Ke Krisis Makna seri2 3
Teknologi Membuat Yang Dekat Menjadi Jauh

Kita hidup di era di mana semua orang terkoneksi. Chat bisa dibalas dalam hitungan detik, video call tinggal klik, status orang lain bisa kita lihat bahkan tanpa diminta. Tapi di tengah banjir koneksi ini, makin banyak orang yang justru merasa sendirian.

Relasi hari ini jadi makin cepat, makin praktis, tapi makin dangkal. Kita terbiasa ngobrol lewat layar, tapi kikuk saat harus duduk berhadapan. Kita bisa menyapa siapa saja secara online, tapi makin sulit menjaga koneksi yang konsisten dan bermakna.

Sherry Turkle, dalam pengamatannya tentang manusia dan teknologi, menyebut fenomena ini sebagai “alone together” — kita bersama, tapi sendirian. Di grup WhatsApp rame, story Instagram berderet, tapi nggak tahu siapa yang bisa diajak ngobrol tanpa basa-basi. Kita jadi akrab dengan “hubungan 3 detik”: like, emoji, DM iseng—tapi jarang ada yang cukup kuat buat diajak diam bareng tanpa canggung.

Zygmunt Bauman pernah bilang bahwa dalam masyarakat cair, hubungan jadi mudah dibentuk… dan mudah dilepas. Tidak ada ikatan yang benar-benar dalam, karena semuanya bergantung pada kenyamanan sesaat. Kita lebih cepat ‘move on’, tapi juga lebih cepat kehilangan rasa.

Di budaya digital sekarang, ghosting bukan cuma istilah. Itu jadi standar. Ganti circle, ganti platform, unfollow, leave group—dan semuanya bisa dilakukan tanpa tanggung jawab emosional. Banyak dari kita jadi terbiasa membangun relasi tanpa keintiman, tanpa kerentanan.

Di Indonesia sendiri, tren ini makin nyata. Anak muda sekarang punya 3–5 grup nongkrong berbeda, tapi nggak yakin siapa yang bisa dimintai tolong jam 2 pagi. Banyak yang punya “teman collab” tapi nggak punya “teman hidup”. Di dating apps, swipe dan match bisa puluhan kali, tapi ketemuan malah canggung. Percakapan lebih mudah dibuka dengan filter atau meme dibanding tanya kabar sungguhan.

Hal ini juga merembet ke keluarga. Banyak orang tua yang tinggal serumah dengan anak, tapi jarang benar-benar ngobrol. Waktu kumpul, semua sibuk dengan layar masing-masing. Kedekatan fisik tidak menjamin kedekatan emosional. Kita tahu banyak tentang dunia luar, tapi makin asing dengan orang terdekat.

Di media sosial, kita saling lihat tapi tidak saling dengar. Kita saling tahu tapi tidak saling hadir. Relasi jadi performa: siapa yang paling harmonis di feed, siapa yang punya “bestie goals”, siapa yang kompak di konten. Tapi di balik itu, banyak relasi yang rapuh, penuh tekanan, dan minim ruang jujur.

Dan ketika manusia kehilangan relasi yang autentik, dia kehilangan tempat berpijak. Karena sejauh apapun kita belajar mengenal diri sendiri, pada akhirnya kita butuh cermin: bukan cermin di layar, tapi cermin dalam bentuk manusia lain yang bisa bilang, “Gue di sini. Gue dengerin lo.”

Inilah krisis relasi yang hari ini membayangi banyak orang: kita selalu online, tapi makin kesepian. Kita punya banyak kontak, tapi sedikit koneksi. Kita dekat secara teknis, tapi jauh secara emosional.

Ini bukan sekadar masalah komunikasi. Ini adalah bagian dari krisis yang lebih besar: saat sistem, teknologi, dan gaya hidup modern membuat manusia makin jauh dari satu sama lain, bahkan dari dirinya sendiri.

Agama Ramai, Tapi Jiwa Sepi: Spiritualitas Menurut Para Pemikir Zaman Ini

Runtuhnya Sistem Kapitalisme Ekstrem Ke Krisis Makna seri2 2

Spiritualitas dalam masyarakat modern menjadi salah satu topik penting yang dibahas banyak pemikir besar dunia. Di satu sisi, kita melihat agama tetap hidup, bahkan berkembang. Di sisi lain, kita juga menyaksikan bagaimana banyak orang merasa kehilangan kedalaman, kehilangan arah, bahkan kehilangan hubungan personal dengan nilai-nilai tertinggi yang dulu menjadi pusat kehidupan manusia.

Charles Taylor, filsuf asal Kanada, melihat era modern sebagai era di mana manusia “tidak lagi hidup dalam tatanan spiritual yang terberi.” Dalam bukunya A Secular Age (2007), Taylor menjelaskan bahwa manusia modern tidak hidup dalam satu kerangka kebenaran absolut. Sebaliknya, kita hidup dalam zaman pilihan, relativitas, dan eksposur terhadap ribuan narasi hidup. Akibatnya, banyak orang tidak benar-benar keluar dari agama, tapi juga tidak merasa sepenuhnya “di dalamnya”. Mereka percaya, tapi tidak yakin. Mereka beragama, tapi terus mencari.

Halaman 2 dari 3
1 2 3
Bagikan:

Artikel Lifestyle

Lihat Semua
Avatar Djoko Yoewono
Djoko Yoewono
Penulis Rooma21 17 artikel
Lihat Profil
Djoko Yoewono
+

Komentar

Memuat komentar...

Jangan Ketinggalan Info Properti Terbaru!

Dapatkan berita, tips, dan penawaran eksklusif langsung ke email Anda.