- Krisis iklim bukan hanya soal lingkungan, tapi soal identitas manusia
- Dunia modern telah menciptakan ilusi netralitas, seolah kita bisa mengejar kemajuan tanpa efek samping
- Tapi sekarang bumi merespons: badai, kekeringan, migrasi iklim, virus global
- Alam sedang “berpolitik”. Ia tak lagi diam. Dan kita harus mengubah cara kita membangun dunia, bukan dengan menaklukkan alam, tapi dengan bernegosiasi dengannya.
🔄 Gagasan Besar: Menyatukan Kembali Manusia dan Bumi

Latour menolak pemisahan antara “alam” dan “budaya”. Ia menyebutnya sebagai modernisasi yang gagal. Dunia baru, kata Latour, harus dimulai dari:
Mengakui bahwa kita adalah bagian dari jejaring kehidupan, bukan pusatnya, membuat kebijakan yang menyertakan “aktor-aktor bumi” sebagai pihak yang punya hak, seperti sungai yang diberi status hukum di beberapa negara
Membangun narasi politik baru: bukan hanya kiri dan kanan, tapi terhubung atau terlepas dari bumi
📌 Relevansi Buat Kita Hari Ini
Pernah merasa bingung kenapa krisis iklim kayaknya jauh, padahal udah terasa? Latour menjawab itu: karena kita hidup di narasi lama. Di sekolah kita diajari bahwa manusia harus menguasai alam. Tapi sekarang, justru kita yang mulai dikuasai oleh alam yang rusak.
Banjir Jakarta, polusi udara, gagal panen, suhu ekstrem, itu bukan “bencana”. Itu komunikasi dari bumi.
Dan dunia baru harus dibangun dengan mendengarkan, bukan menundukkan.
✊ Kontribusinya Dalam Tatanan Dunia Baru
Bruno Latour memberi dasar filosofis dan politis bahwa:
- Alam bukan benda pasif, tapi bagian dari kontrak sosial
- Keputusan manusia harus memperhitungkan relasi ekologis secara langsung
- Dunia baru tak bisa dibangun tanpa menyatukan kembali manusia dengan bumi
Kalau Kate Raworth membingkai batas aman bumi, dan Jason Hickel menyuarakan cukupnya pertumbuhan, maka Latour memberi kita satu pesan dasar:
“Kita tidak sedang membangun peradaban di atas bumi, kita sedang membangun peradaban bersama bumi.”
💫 Charles Eisenstein – Ekonomi Sakral & Peradaban Baru yang Lembut.
Di tengah dunia yang makin dingin dan fungsional, Charles Eisenstein muncul sebagai suara yang menyentuh sisi terdalam dari manusia: jiwa, rasa, dan makna. Ia bukan ekonom dalam pengertian konvensional. Ia lebih mirip seorang penyair yang berbicara soal uang, sistem, dan hubungan, tapi dari ruang yang lembut, kontemplatif, dan manusiawi.
Eisenstein bukan hanya menawarkan teori, tapi mengajak kita masuk ke dalam cerita baru tentang dunia, tentang siapa kita, dan bagaimana kita saling terhubung.
🌱 Kita Hidup Dalam Cerita Lama yang Sudah Usang
Bagi Eisenstein, dunia modern dibangun di atas satu cerita besar yang menyesatkan: bahwa manusia adalah makhluk yang terpisah satu sama lain, bahwa hidup adalah kompetisi, bahwa alam hanyalah benda mati yang bisa dikuasai, dan bahwa segalanya bisa diukur dengan uang. Ini adalah cerita yang melahirkan sistem ekonomi berbasis kelangkaan, kontrol, dan ketakutan.
Dalam cerita ini, kita diajarkan untuk terus merasa kurang. Kurang produktif. Kurang uang. Kurang sukses. Bahkan dalam relasi pun, kita sering merasa harus “memberi lebih” supaya dianggap cukup. Tidak heran jika banyak orang hari ini merasa terputus dari orang lain, dari alam, dan dari dirinya sendiri.
🌸 Cerita Baru yang Ingin Dihidupkan
Eisenstein menawarkan cerita tandingan. Sebuah kisah tentang keterhubungan, tentang kelimpahan yang datang bukan dari tumpukan materi, tapi dari rasa syukur. Dalam dunia baru yang ia bayangkan, setiap manusia dipandang bukan dari output atau nilai tukarnya, tapi dari keberadaannya. Bahwa keberadaan manusia itu sendiri sudah cukup bernilai tanpa harus membuktikan diri lewat produktivitas atau pengorbanan berlebih.
Konsep Ekonomi Sakral lahir dari keyakinan ini. Ia membayangkan sistem di mana uang tidak memutuskan relasi, tapi justru memperkuatnya. Dimana transaksi tidak terjadi karena tekanan, tapi karena niat untuk memberi. Dimana berbagi bukan bentuk kehilangan, tapi perayaan keterhubungan.
🧭 Menemukan Makna di Dunia yang Serba Efisien
Gagasan Eisenstein makin relevan hari ini ketika generasi muda banyak yang merasakan kekosongan eksistensial. Mereka tidak hanya lelah secara fisik karena budaya hustle, tapi juga jenuh secara batin karena hidup terasa seperti checklist tanpa rasa. Banyak yang mulai bertanya: “Kalau semua ini demi uang, lalu apa yang tersisa buat hidup?”
Eisenstein menjawab bahwa yang hilang adalah makna. Kita butuh lebih dari sekadar sistem yang “berfungsi”. Kita butuh sistem yang berjiwa. Kita butuh ruang untuk bernapas, waktu untuk hadir, dan keberanian untuk mempercayai aliran hidup.
🔁 Dari Ketakutan Menuju Syukur
Perubahan yang ditawarkan Eisenstein bukan revolusi dengan teriakan. Ia lebih mirip seperti embun yang pelan tapi menghidupkan. Ia tidak mendesak kita untuk meninggalkan sistem lama secara paksa, tapi mengajak kita untuk perlahan membuka diri pada kemungkinan lain: bahwa dunia ini bisa dijalankan dengan cara yang lebih lembut.
Dalam cerita barunya, pertumbuhan tidak lagi diukur dari seberapa besar angka ekonomi, tapi dari seberapa dalam kita bisa terhubung dengan sesama, dengan bumi, dan dengan diri sendiri.
Dan inilah inti kontribusinya bagi tatanan dunia baru: membangun peradaban bukan hanya di atas logika, tapi juga di atas cinta.
Kalau yang lain bicara tentang struktur, Charles bicara tentang getaran.
Kalau yang lain menawarkan peta, Charles menawarkan arah hati.
Ia percaya, dunia baru yang lebih indah itu bukan mustahil. Tapi ia tidak akan hadir kalau kita tetap hidup dalam cerita lama yang penuh ketakutan. Ia hanya bisa muncul kalau kita memilih percaya dan mulai hidup dari cerita yang baru.
🚪 Dunia Sedang Mencari Arah Baru
Empat pemikir sudah kita jelajahi. Mereka datang dari latar yang berbeda, ekonomi, ekologi, filsafat, bahkan spiritualitas. Tapi ada satu hal yang mereka semua suarakan, meski dengan kata berbeda: dunia seperti yang kita kenal sedang kehilangan bentuk.
Krisis demi krisis, dari lingkungan, ekonomi, hingga makna hidup, menandakan bahwa sistem lama tak lagi mampu menjawab tantangan zaman. Kita tidak hanya menghadapi masalah teknis, tapi masalah mendasar: cara kita melihat dunia, mengatur kehidupan, dan memberi makna pada eksistensi.
🌍 Dunia Lama Masih Berjalan, Tapi Tak Lagi Meyakinkan
Kapitalisme neoliberal, logika pertumbuhan abadi, dominasi atas alam, dan budaya produktivitas tanpa henti, semuanya mungkin masih mendominasi. Tapi dominasi itu kini terasa rapuh. Semakin banyak orang yang mulai mempertanyakan: apakah benar hidup harus seperti ini terus?
Apakah kita memang ditakdirkan untuk terus bekerja, terus bersaing, terus merasa kurang?Atau… ada cara lain?
🔭 Gagasan Alternatif Sedang Berkumpul
Apa yang ditawarkan oleh Kate Raworth, Jason Hickel, Bruno Latour, dan Charles Eisenstein bukanlah solusi instan. Tapi mereka sedang menyulam pola baru. Menggambarkan arah yang berbeda. Memberi kita kosa kata baru untuk memahami dan membayangkan hidup.
Mereka tidak sedang bicara tentang revolusi. Tapi tentang transisi dari dunia yang menjadikan manusia sebagai mesin ekonomi, menuju dunia yang kembali memanusiakan manusia.
Dan yang menarik: sinyal-sinyal perubahan ini bukan cuma datang dari kampus atau lembaga besar. Tapi juga dari keseharian, dari tren slow living, dari keresahan Gen Z terhadap hustle culture, dari komunitas-komunitas yang memilih hidup cukup dan terhubung.
✨ Akhirnya… Kita sedang hidup di persimpangan. Di satu sisi, dunia lama belum benar-benar pergi. Tapi di sisi lain, dunia baru mulai menyapa — lewat keresahan, lewat ide, lewat eksperimen sosial kecil di banyak tempat.
Apa yang akan lahir dari masa transisi ini, kita belum tahu. Tapi satu hal pasti: dunia tidak bisa terus seperti ini. Dan mungkin, justru dari titik gelap inilah, arah baru peradaban akan mulai terbentuk.
“Di tengah dunia yang kehilangan arah, gagasan-gagasan baru bukan sekadar wacana, tapi cahaya kecil yang menuntun kita menuju cara hidup yang lebih manusiawi, lebih terhubung, dan lebih bermakna.”
Catatan : “Artikel ini merupakan bagian dari seri Trend Perubahan Dunia Baru, yang dipublikasikan secara bertahap di blog Rooma21.com.”
Selanjutnya, baca artikel berjudul: “Karena Dunia Berubah, Kita Perlu Cara Hidup yang Baru.”
Visit www.rooma21.com: kami lebih dari sekadar platform properti, rumah ideal dimulai dari referensi yang tepat, rooma21.com: referensi real estate, mortgage & realtor di Indonesia, hadir untuk millenial dan genzie mewujudkan gaya hidup impian.

Komentar