Rooma21 Blog

Belum login? Masuk untuk akses penuh

Pencarian

Akun

Login Daftar

Dunia 2025: Di Persimpangan Perubahan Sosial dan Ekonomi

30 July 2025
42 views
Dunia 2025: Di Persimpangan Perubahan Sosial dan Ekonomi
/p>

📉 Jason Hickel dan Gagasan Degrowth: Ketika Maju Itu Artinya Mengurangi

Dunia 2025: Di Persimpangan Perubahan Sosial dan Ekonomi | "Jason Hickel discussing Degrowth and economic sustainability Krisis Sosial
“Jason Hickel discussing Degrowth and economic sustainability

Di dunia yang terus mengejar “lebih” : lebih besar, lebih cepat, lebih produktif, ada satu gagasan yang terdengar nyeleneh tapi justru makin relevan:

“Sudah cukup. Saatnya mengurangi.”

Gagasan ini dikenal sebagai Degrowth, dan salah satu pemikir yang paling vokal menyuarakannya adalah Jason Hickel, ekonom asal Inggris-Wales yang juga antropolog dan penulis. Melalui buku-bukunya seperti The Divide dan Less is More, Hickel menggugat akar terdalam dari krisis global: logika pertumbuhan tanpa batas.

🌍 Mengapa Pertumbuhan Justru Berbahaya?

Bagi Hickel, pertumbuhan ekonomi, seperti yang dipahami dunia hari ini — bukan sekadar angka PDB naik. Ia adalah sistem yang:

  • Mengekstraksi sumber daya dari negara-negara Selatan demi konsumsi negara-negara Utara
  • Menciptakan ketimpangan masif antar bangsa dan kelas sosial
  • Mendorong krisis iklim, kehancuran alam, dan kehampaan sosial
  • Menjadikan efisiensi dan keuntungan sebagai tolak ukur utama, mengabaikan nilai, relasi, dan keseimbangan

Di titik ini, Hickel bertanya:

Apakah kemajuan benar-benar berarti terus tumbuh? Atau kita justru butuh berhenti dan merefleksi?

🧠 Dari Antropologi ke Ekonomi Alternatif

Latar belakang Hickel sebagai antropolog memberi sudut pandang unik. Ia mempelajari masyarakat tradisional yang hidup selaras dengan alam dan menemukan bahwa banyak dari mereka hidup cukup — bukan miskin — hanya karena tak masuk sistem ekonomi global.

Ia kemudian mengkritisi cara dunia “mengukur” kemiskinan, yang didasarkan pada standar kapitalisme industri. Menurut Hickel, yang salah bukan orangnya, tapi definisinya.

Hal ini mengantarnya pada gerakan Degrowth, yang bukan berarti “kembali ke zaman batu”, tapi justru:

  • Menurunkan produksi dan konsumsi berlebihan di negara kaya
  • Menjamin kesejahteraan dengan pendekatan distribusi adil
  • Memperpendek rantai kerja, memberi ruang hidup lebih utuh
  • Menata ulang ekonomi agar selaras dengan daya dukung bumi

🔄 Degrowth vs Green Growth: Apa Bedanya?

Banyak pemerintah dan korporasi kini berbicara soal “green growth” — pertumbuhan yang katanya ramah lingkungan. Tapi bagi Hickel, ini ilusi.

“Tidak ada pertumbuhan hijau di dunia nyata. Yang ada hanya konsumsi yang terus melonjak, meski efisien secara teknologi.”

Degrowth menawarkan sesuatu yang lebih radikal: bukan memperhalus sistem lama, tapi membangun sistem baru dari fondasi. Sistem yang tidak bergantung pada pertumbuhan, tapi pada keberlanjutan, relasi sosial, dan hidup yang cukup.

📍Apa Relevansinya Buat Kita?

Di Indonesia, kita sering mendengar istilah “pertumbuhan ekonomi nasional” di berita, tapi jarang bertanya:

  • Siapa yang menikmati pertumbuhan itu?
  • Apakah bumi kita sanggup menopangnya?
  • Apakah kita makin sehat secara jiwa, atau justru makin terbakar oleh tekanan hidup?

Gagasan degrowth mengajak kita membayangkan kehidupan yang lebih lambat, lebih sadar, dan lebih cukup. Ia bukan tentang anti-kemajuan, tapi tentang kemajuan yang didefinisikan ulang.

✊ Kontribusinya Dalam Tatanan Dunia Baru

Dalam penyusunan Manifesto Dunia Baru, pemikiran Jason Hickel menjadi jembatan penting:

  • Ia menyodorkan kritik mendalam terhadap mitos pertumbuhan
  • Ia membongkar logika global yang menindas
  • Dan yang paling penting, ia menawarkan jalan keluar: mengurangi, bukan membesarkan

Jika Kate Raworth mengajarkan kita hidup dalam batas aman bumi, maka Jason Hickel mengajarkan kita untuk berani berhenti, demi bisa mulai ulang dengan lebih bijak.

Kalau kemarin donat jadi peta moral, maka degrowth jadi tombol rem.
Karena kadang, langkah paling maju adalah… berhenti berlari.

✊ Kontribusinya Dalam Tatanan Dunia Baru

Dalam penyusunan Manifesto Dunia Baru, pemikiran Jason Hickel memainkan peran krusial. Ia bukan cuma mengkritik sistem lama, tapi juga menyusun pondasi baru dari cara berpikir yang lebih manusiawi dan ekologis. Berikut ini esensi kontribusinya yang layak jadi benang merah untuk arah peradaban ke depan:

  1. Membongkar mitos pertumbuhan sebagai tujuan hidup
    Hickel menolak anggapan bahwa ekonomi harus selalu naik agar masyarakat makmur. Baginya, justru obsesi terhadap pertumbuhanlah yang membuat dunia mengalami ketimpangan parah dan kehancuran ekologis. Ini membuka jalan untuk mempertanyakan ulang: apa sebenarnya tujuan kita membangun ekonomi? Kalau bukan sekadar angka, maka harusnya: keadilan, cukup, dan harmoni.
  2. Menyadarkan dunia bahwa “kemiskinan” itu definisi yang bias
    Sebagai antropolog, Hickel menunjukkan bahwa banyak masyarakat tradisional yang hidup seimbang dengan alam justru dicap “miskin” oleh standar global. Ia menolak ukuran kemajuan yang hanya berbasis konsumsi. Dalam dunia baru, ukuran kesejahteraan harus dikembalikan ke makna hidup itu sendiri: apakah manusia bisa hidup bermartabat, merdeka, dan terhubung dengan alam?
  3. Mengusulkan redistribusi, bukan eksploitasi ulang dengan nama hijau
    Di tengah tren greenwashing dan slogan “ekonomi hijau”, Hickel memberi peringatan keras: efisiensi tidak akan menyelamatkan bumi kalau konsumsi tetap tak terbendung. Ia mengusulkan degrowth terutama di negara-negara maju, sambil menjamin distribusi adil untuk negara berkembang. Dunia baru butuh sistem global yang kolaboratif, bukan kompetitif—dan ini memerlukan etika baru dalam relasi antarbangsa.
  4. Menawarkan visi ekonomi yang manusiawi, pelan, dan cukup
    Hickel tidak mengajak kita kembali ke zaman obor. Ia membayangkan dunia di mana manusia bisa bekerja lebih sedikit, mengonsumsi secukupnya, dan punya waktu untuk hidup, bukan sekadar bertahan. Dalam visi ini, kualitas hidup tidak lagi ditentukan oleh seberapa tinggi gaji atau seberapa cepat naik jabatan, tapi oleh seberapa utuh kita bisa menjadi manusia.

Ia membayangkan ekonomi yang memungkinkan:

  • 4 hari kerja seminggu
  • Jaminan kebutuhan dasar (pendidikan, kesehatan, air, pangan) tanpa harus dikorbankan untuk pertumbuhan
  • Sistem lokal yang kuat: pertanian regeneratif, koperasi energi, komunitas berbagi.

Inilah bentuk ekonomi yang lebih lambat, tapi lebih dalam. Ekonomi yang memberi ruang untuk makna, bukan cuma angka.

🔥 Intinya, Hickel memberi kita satu pesan kuat:

Kalau mau membangun dunia baru, kita harus berhenti menyembah pertumbuhan. Degrowth bukan akhir dari peradaban, tapi mungkin satu-satunya cara agar peradaban bisa terus hidup.

🧭 Mengapa Kita Butuh Gerakan Baru?

Degrowth bukan hanya solusi teknis. Ia adalah seruan moral: bahwa kita harus berhenti mengorbankan manusia demi mesin ekonomi. Kita hidup di tengah sistem yang bikin kita terus merasa kurang, terus membandingkan, dan terus lelah mengejar angka. Saatnya ada gerakan baru yang:

  • Menempatkan manusia sebagai makhluk bernalar dan berjiwa, bukan sekadar sumber daya
  • Menjadikan alam bukan objek eksploitasi, tapi sahabat hidup bersama
  • Membangun masa depan bukan di atas deret PDB, tapi di atas relasi, keadilan, dan keberlanjutan

Dan kalau degrowth adalah peta besar, maka gaya hidup slow living adalah jalan kecilnya yang kini makin populer, khususnya di kalangan generasi muda yang mulai lelah dengan budaya hustle.

☯ Degrowth vs Slow Living: Makro & Mikro yang Saling Melengkapi

Generasi sekarang mulai menyadari: “Hidup itu bukan lomba. Kadang yang paling waras adalah yang paling pelan.”

Itulah kenapa gerakan seperti : Digital detox, Work-life balance, Living with less, atau ngopi sore tanpa deadline mulai jadi aspirasi baru.

Dan diam-diam, itu sejalan dengan gagasan Hickel: bahwa kemajuan sejati bukan yang bikin stres, tapi yang bikin kita kembali merasa hidup.

Degrowth memberi kerangka sistem, Slow living memberi napas harian.
Keduanya adalah bagian dari dunia baru yang sedang kita bangun pelan, tapi pasti.

🌿 Bruno Latour – Alam Bukan Sekadar Latar, Tapi Aktor Sosial

Dunia 2025: Di Persimpangan Perubahan Sosial dan Ekonomi | Bruno Latour and the concept of Earth as an actor in social and ecological networks." Krisis Sosial
Bruno Latour and the concept of Earth as an actor in social and ecological networks.”

Selama ribuan tahun, manusia melihat alam sebagai latar belakang. Gunung, laut, udara, iklim, semua dianggap “di luar kita”, hanya dekorasi tempat manusia beraksi. Tapi di abad krisis ini, narasi itu runtuh.

Bruno Latour, filsuf dan sosiolog asal Prancis, mengguncang cara kita memahami dunia lewat satu gagasan radikal:

“Alam bukan penonton. Ia adalah aktor. Dan sekarang, ia sedang bicara lewat krisis iklim, pandemi, dan bencana alam.”

🧠 Siapa Bruno Latour?

Latour adalah pemikir lintas disiplin yang dikenal karena konsep Actor-Network Theory (ANT), yaitu gagasan bahwa dalam setiap sistem sosial, bukan hanya manusia yang aktif, tapi juga benda, teknologi, bahkan entitas non-manusia, seperti sungai, virus, atau iklim.

Halaman 2 dari 3
1 2 3
Bagikan:

Artikel Lifestyle

Lihat Semua
Avatar Djoko Yoewono
Djoko Yoewono
Penulis Rooma21 17 artikel
Lihat Profil
Djoko Yoewono
+

Komentar

Memuat komentar...

Jangan Ketinggalan Info Properti Terbaru!

Dapatkan berita, tips, dan penawaran eksklusif langsung ke email Anda.