Rooma21 Blog

Belum login? Masuk untuk akses penuh

Pencarian

Akun

Login Daftar

Dunia 2025: Di Persimpangan Perubahan Sosial dan Ekonomi

30 July 2025
43 views
Dunia 2025: Di Persimpangan Perubahan Sosial dan Ekonomi

Rooma21.com, Jakarta – Di tengah gempuran krisis iklim, ketimpangan sosial, dan hiruk-pikuk pertumbuhan ekonomi yang tak pernah cukup, suara seorang ekonom asal Inggris mulai mengguncang dunia. Bukan dengan jargon rumit, tapi dengan satu metafora sederhana: donat.

Namanya Kate Raworth, dan konsep yang ia bawa—Doughnut Economics—menjadi seruan keras untuk mempertanyakan arah peradaban manusia hari ini.

🌱 Dari Oxford ke Oxfam: Mencari Ekonomi yang Masuk Akal

Dunia 2025: Di Persimpangan Perubahan Sosial dan Ekonomi Krisis Sosial
Dari Oxford ke Oxfam: Mencari Ekonomi yang Masuk Akal

Raworth tidak datang dari pinggiran. Ia lulusan Oxford University, mengambil jurusan klasik “PPE”, Philosophy, Politics, and Economics. Tapi justru di kampus bergengsi itulah kegelisahannya mulai muncul. Ia merasa ekonomi diajarkan seperti ilmu eksak: fokus pada grafik, model, dan asumsi yang sering jauh dari kenyataan kehidupan.

Setelah lulus, Raworth terjun ke dunia nyata. Ia bekerja di Zanzibar dalam program pengembangan komunitas, lalu masuk ke UNDP dan Oxfam, menyusun laporan pembangunan manusia global. Di sana, ia melihat langsung bahwa banyak kebijakan ekonomi dunia gagal menjawab kebutuhan dasar manusia, dan justru memperparah krisis lingkungan.

📖 Lahirnya “Donat” yang Revolusioner

Dunia 2025: Di Persimpangan Perubahan Sosial dan Ekonomi Krisis Sosial
“Donat” yang Revolusioner | Kate Raworth and Doughnut Economics concept illustration.

Pada 2012, Raworth merilis laporan awal berjudul A Safe and Just Space for Humanity, yang kemudian berkembang menjadi buku Doughnut Economics pada 2017. Konsepnya sederhana tapi menggugah:

Bayangkan ekonomi seperti donat. Di tengah (lubang donat) adalah kebutuhan dasar manusia: makanan, air, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, keadilan sosial. Di luar (batas donat) adalah batas ekologis bumi: perubahan iklim, pencemaran udara, rusaknya keanekaragaman hayati, dan sebagainya.

Tugas ekonomi, kata Raworth, bukanlah tumbuh terus-menerus seperti mesin yang lapar angka. Tapi menjaga agar kita hidup di dalam “ruang aman dan adil” di antara dua batas itu terpenuhi secara sosial, tanpa melanggar batas planet.
🔍 Siapa yang Menginspirasi Gagasan Ini?

Doughnut Economics bukanlah mimpi soliter. Kate Raworth merakit gagasannya dari jejak-jejak pemikiran visioner lain yang lebih dulu menggugat logika ekonomi konvensional.

Salah satunya adalah Elinor Ostrom, peraih Nobel Ekonomi pertama yang perempuan. Ostrom membuktikan bahwa komunitas lokal bisa menjaga sumber daya alam bersama (seperti air, hutan, atau laut) secara berkelanjutan tanpa perlu dikendalikan negara atau korporasi. Gagasan ini menguatkan keyakinan Raworth bahwa sistem ekonomi bisa tumbuh dari bawah—berbasis nilai, bukan angka.

Kemudian ada Tim Jackson, penulis Prosperity Without Growth, yang dengan tegas mempertanyakan: kenapa kita terus memuja pertumbuhan ekonomi, padahal bumi punya batas? Ia membuka jalan bagi logika baru: kemakmuran bukan berarti naik terus, tapi cukup asal bermakna dan adil.

Dari sisi ekologi, Raworth banyak terinspirasi oleh Johan Rockström dan tim dari Stockholm Resilience Centre, yang memperkenalkan konsep planetary boundaries, sembilan batas ekologis bumi yang jika dilanggar, bisa mengubah kondisi planet secara drastis. Inilah cikal bakal lingkar luar dalam diagram donat Raworth.

Dan tentu saja, Amartya Sen, ekonom asal India yang memperkenalkan pendekatan capability. Ia menolak anggapan bahwa kesejahteraan bisa diukur dari uang. Menurut Sen, pembangunan adalah soal memperluas kapabilitas dan pilihan hidup manusia. Gagasan ini memberi kerangka moral bagi bagian dalam donat, yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar, bukan sekadar naiknya pendapatan.

Raworth merajut semua benang ini dalam metafora sederhana, agar bisa dipahami oleh siapa pun. Ia tidak hanya menyusun teori, tapi menciptakan bahasa baru: donat, yang ternyata bisa menyelamatkan dunia.

🏙 Relevansi di Dunia Nyata: Antara Proyek dan Realita

Konsep ekonomi donat bukan sekadar teori buku. Kota Amsterdam telah mengadopsinya secara resmi sebagai fondasi kebijakan kota sejak 2020. Mereka memadukan pembangunan ekonomi dengan target sosial dan lingkungan yang jelas.

Dunia 2025: Di Persimpangan Perubahan Sosial dan Ekonomi Krisis Sosial

Bagaimana dengan Indonesia?

Sayangnya, kita masih terjebak dalam paradigma lama. Pembangunan besar-besaran sering mengorbankan kampung nelayan, merusak hutan, atau memicu ketimpangan. Yang dilihat tetap angka PDB dan jumlah proyek, bukan apakah masyarakatnya hidup layak atau apakah lingkungan bisa pulih.

💡 Gagasan Bagi Masa Depan Peradaban

Kate Raworth tidak anti pertumbuhan. Tapi ia menolak menjadikan pertumbuhan sebagai tuhan tunggal ekonomi.
Menurutnya, yang perlu dipertanyakan adalah:

  • Untuk siapa ekonomi ini tumbuh?
  • Apa yang dikorbankan?
  • Dan apakah kita masih bisa hidup layak 20–30 tahun lagi jika terus begini?

“Dalam konteks penyusunan Manifesto Dunia Baru, pemikiran Raworth menjadi fondasi penting. Bahwa masa depan bukan hanya tentang teknologi, kapital, atau efisiensi, tapi tentang membangun keseimbangan antara manusia dan bumi.”

Doughnut Economics bukan resep mudah. Ia tidak menjanjikan jalan pintas. Tapi ia memberi arah. Sebuah peta moral dan ekologis yang bisa membantu manusia keluar dari krisis besar ini.

Di zaman ketika “lebih cepat, lebih besar, lebih banyak” dianggap satu-satunya arah, mungkin sudah waktunya kita balik bertanya:

Apa artinya maju, kalau bumi tertinggal?

Dan di tengah kebingungan itu, sebuah donat mungkin bisa jadi kompas baru — sederhana, bundar, tapi menyelamatkan.

Halaman 1 dari 3
1 2 3
Bagikan:

Artikel Lifestyle

Lihat Semua
Avatar Djoko Yoewono
Djoko Yoewono
Penulis Rooma21 17 artikel
Lihat Profil
Djoko Yoewono
+

Komentar

Memuat komentar...

Jangan Ketinggalan Info Properti Terbaru!

Dapatkan berita, tips, dan penawaran eksklusif langsung ke email Anda.