- Layanan Pelanggan Chatbot generasi lama hanya bisa menjawab pertanyaan standar seperti “jam buka toko” atau “status pesanan.” Agentic AI kini bisa menegosiasikan solusi: misalnya, jika paket terlambat, ia tidak hanya meminta maaf, tapi juga otomatis menawarkan kompensasi atau menjadwalkan pengiriman ulang tanpa campur tangan manusia.
- Supply Chain & Logistik Automation lama hanya mengoptimalkan jalur distribusi. Agentic AI mampu mendeteksi hambatan real-time—misalnya cuaca buruk atau vendor yang kehabisan stok—dan langsung mencari rute atau pemasok alternatif agar barang tetap sampai tepat waktu.
- Keuangan & Investasi Robo-advisor berbasis agentic AI tidak hanya menghitung bunga atau memberi rekomendasi standar, tapi bisa merancang strategi investasi personal, menyesuaikan risiko sesuai kondisi pasar terkini, bahkan memberi peringatan dini saat ada potensi krisis.
- Kesehatan AI di rumah sakit kini tidak hanya membantu membaca hasil rontgen, tetapi juga bisa menyusun rencana perawatan adaptif: menyesuaikan obat, memberi peringatan efek samping, bahkan mengingatkan pasien untuk kontrol.
- Industri Properti Dalam konteks real estate, agentic AI bisa berperan sebagai “agen digital.” Ia tidak hanya menampilkan listing rumah, tapi juga bisa menyesuaikan pencarian dengan gaya hidup pengguna, menghitung simulasi cicilan, hingga menghubungkan langsung dengan agen atau bank yang paling relevan.
Semua contoh ini menunjukkan satu hal: agentic AI tidak lagi sekadar alat, melainkan mitra aktif yang membantu manusia mengambil keputusan lebih cepat, lebih cerdas, dan lebih personal.
Pandangan Para Pakar & Diskusi Publik tentang Agentic AI
Munculnya agentic AI memicu banyak perbincangan, baik di kalangan akademisi, pelaku industri, maupun regulator. Sebagian melihatnya sebagai lompatan besar yang akan mempercepat inovasi, sementara yang lain khawatir tentang risiko kehilangan kendali.
Satya Nadella (CEO Microsoft) menyebut agentic AI sebagai “co-pilot era baru”. Menurutnya, AI bukan lagi sekadar alat bantu, tapi mitra kerja yang bisa memahami konteks dan mengambil inisiatif. Filosofi “co-pilot” ini tercermin dalam produk Microsoft Copilot yang diproyeksikan jadi asisten digital di setiap aspek pekerjaan modern.
Yann LeCun (Chief AI Scientist Meta) punya pandangan berbeda. Ia menekankan bahwa agentic AI baru bisa disebut matang jika mampu melakukan reasoning (penalaran) yang mendekati manusia, bukan sekadar pattern recognition. Baginya, agentic AI harus bisa membuat model mental dunia nyata, memahami sebab-akibat, dan merencanakan langkah ke depan—sesuatu yang masih jadi tantangan besar.
Di sisi lain, Sam Altman (OpenAI) melihat agentic AI sebagai jembatan menuju general intelligence. Namun ia juga mengingatkan, semakin mandiri sebuah AI, semakin besar pula kebutuhan akan guardrail (pagar pengaman) agar tidak menyimpang dari tujuan manusia.
Diskusi publik pun tidak kalah panas. Ada yang melihat agentic AI sebagai peluang besar untuk demokratisasi produktivitas—membantu bisnis kecil, mempercepat riset, hingga memberdayakan individu. Tapi ada juga yang skeptis: apakah kita siap jika mesin mulai mengambil keputusan penting dalam keuangan, kesehatan, atau hukum?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuat agentic AI bukan hanya isu teknologi, tetapi juga isu sosial, etis, dan bahkan politik.
Implikasi Sosial & Bisnis dari Agentic AI
Hadirnya agentic AI membawa peluang besar, tapi juga tantangan yang tidak bisa diabaikan.
Dalam dunia bisnis, agentic AI menjanjikan efisiensi dan daya saing baru. Perusahaan bisa menghemat biaya operasional karena banyak proses yang tadinya butuh tenaga manusia bisa ditangani AI yang mandiri. Dari supply chain hingga layanan pelanggan, agentic AI mampu membuat keputusan real-time tanpa menunggu instruksi atasan. Ini berarti perusahaan bisa lebih gesit menghadapi perubahan pasar.

Di sektor keuangan, misalnya, agentic AI berpotensi melahirkan generasi baru robo-advisor yang bukan hanya memberi rekomendasi, tapi benar-benar merancang strategi investasi dinamis. Di industri properti, AI bisa menjadi agen digital yang proaktif, bukan sekadar menampilkan listing, tapi juga menegosiasikan harga atau menilai kelayakan kredit pembeli.
Dalam masyarakat, agentic AI bisa meningkatkan akses terhadap layanan. Bayangkan kesehatan: pasien di daerah terpencil bisa mendapat “dokter digital” yang menyusun rencana perawatan sesuai kondisi mereka. Atau pendidikan: siswa bisa dibimbing tutor AI yang menyesuaikan metode belajar dengan gaya masing-masing.
Namun, di balik peluang itu, ada tantangan serius. Pertama, soal lapangan kerja—pekerjaan rutin makin banyak diambil alih AI. Kedua, soal akuntabilitas—jika AI membuat keputusan salah, siapa yang bertanggung jawab? Ketiga, soal bias dan keadilan—karena AI belajar dari data, ia bisa memperkuat ketimpangan jika datanya tidak netral.
Implikasi lain yang juga ramai dibahas adalah regulasi. Negara-negara mulai merumuskan aturan agar agentic AI tidak liar. Uni Eropa, misalnya, sudah menyiapkan AI Act untuk mengatur penggunaan AI berisiko tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dampak agentic AI sudah dianggap strategis, setara dengan isu ekonomi dan keamanan nasional.
Singkatnya, agentic AI adalah pisau bermata dua: ia bisa membuka peluang besar, tapi juga menimbulkan risiko jika tidak dikawal dengan tepat.
Apakah Kita Siap Berbagi Keputusan dengan Mesin? Tantangan Era Agentic AI
Perjalanan dari automation ke agentic AI adalah kisah panjang tentang ambisi manusia untuk melampaui keterbatasannya sendiri. Dari jalur perakitan Henry Ford, ATM pertama di bank, hingga machine learning yang belajar dari miliaran data, semuanya berujung pada pertanyaan yang lebih besar: apakah kita siap jika mesin tidak hanya bekerja, tetapi juga ikut memutuskan?
Agentic AI menghadirkan peluang luar biasa. Ia bisa menjadi mitra yang membantu bisnis lebih efisien, membuat layanan kesehatan lebih inklusif, dan menjadikan hidup sehari-hari lebih nyaman. Namun, ia juga membawa konsekuensi: hilangnya sebagian peran manusia, tantangan etika, serta kebutuhan regulasi yang lebih ketat.
Sejarah menunjukkan, setiap teknologi besar selalu diiringi dilema. Revolusi industri dulu memicu kecemasan pekerja, internet pernah dituding sebagai ancaman privasi, dan kini agentic AI mengguncang fondasi cara kita bekerja dan mengambil keputusan.
Mungkin pertanyaan terpenting bukanlah apakah agentic AI akan menggantikan manusia, tetapi bagaimana manusia bisa hidup berdampingan dengan agen digital ini. Apakah kita akan menjadikannya sekadar alat, atau menerima mereka sebagai mitra dalam membentuk masa depan?
Pada akhirnya, automation membuat mesin bisa bekerja. Agentic AI membuat mesin bisa berpikir. Dan masa depan akan ditentukan oleh bagaimana kita memilih untuk menggunakan kemampuan itu.
Visit www.rooma21.com : Your Proptech Partner in Real Estate, platform properti digital yang fokus pada teknologi dan customer experience

🏡 Rooma21 bukan sekadar platform properti. Kami hadir sebagai referensi real estate, mortgage & realtor di Indonesia, hadir untuk millenial dan genzie, dapatkan informasi rumah atau property recommended, news, artikel blog dan tv update, dilengkapi dengan lifetyle, travelling dan digital trend, yang menjadi favoritenya generasi muda.
Komentar