Contohnya sudah bisa dilihat di beberapa eksperimen publik. OpenAI memperkenalkan AutoGPT, sistem yang mampu menjalankan proyek kompleks dari awal sampai akhir dengan hanya diberi satu instruksi umum. Google DeepMind meluncurkan AlphaAgent, agent yang mampu bekerja lintas domain dan berkoordinasi dengan AI lain untuk memecahkan masalah yang dinamis. Framework seperti LangGraph dan CrewAI memungkinkan banyak agent berkolaborasi layaknya tim manusia — berdiskusi, berbagi tugas, dan menyesuaikan strategi berdasarkan perubahan situasi.
Perubahan inilah yang membuat para peneliti menyebut era baru ini sebagai kecerdasan yang memiliki agency, kemampuan untuk menetapkan tujuan sendiri dan bertindak mandiri dalam mencapai tujuan tersebut.
“Kalau ChatGPT menunggu perintah, maka Agentic AI tahu apa yang perlu dilakukan — dan mengapa hal itu penting.”
Etika, Risiko, dan Regulasi — Saat Mesin Mulai Memutuskan
Ketika Keputusan AI Menyentuh Moralitas Manusia

Ketika kecerdasan buatan mulai bertindak tanpa perintah langsung manusia, dunia pun dihadapkan pada pertanyaan paling mendasar: Siapa yang bertanggung jawab atas keputusan yang diambil oleh mesin?
Dulu, ketika AI hanyalah alat bantu analisis, jawabannya sederhana. Tapi kini, di era Agentic AI, sistem tak hanya mengeksekusi perintah — ia menilai situasi, membuat rencana, lalu memutuskan tindakan terbaik berdasarkan data dan konteks yang ia pahami sendiri. Di sinilah garis tipis antara teknologi dan moralitas mulai kabur.
Bayangkan sebuah sistem agentic di sektor keuangan yang menolak pengajuan kredit rumah karena menilai risiko terlalu tinggi. Dari sisi algoritma, keputusan itu logis. Tapi bagaimana jika data pelamar mencerminkan bias masa lalu — misalnya karena asal wilayah atau pola pekerjaan informal? Keputusan “cerdas” itu bisa jadi diskriminatif tanpa disadari.
Contoh nyata seperti ini sudah mulai terjadi. Pada 2024, sebuah studi oleh OECD Digital Policy Unit menemukan bahwa lebih dari 38% sistem AI yang digunakan di sektor keuangan memiliki potensi bias data demografis, terutama di negara-negara dengan struktur ekonomi informal yang kuat. Artinya, tanpa pengawasan manusia, keputusan AI bisa memperdalam kesenjangan sosial yang justru ingin kita atasi dengan teknologi.
Bias, Akuntabilitas, dan Masalah Black Box
Masalah etika Agentic AI bukan hanya soal bias data. Ia juga menyentuh isu akuntabilitas dan transparansi. Ketika AI membuat keputusan kompleks — seperti menolak kredit, merekomendasikan investasi, atau bahkan menilai kelayakan pasien untuk perawatan medis — kita perlu tahu mengapa keputusan itu diambil. Namun kebanyakan sistem AI modern bekerja dengan mekanisme yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan, fenomena yang dikenal sebagai black box problem.
Explainable AI dan Human-in-the-Loop
Untuk itulah kini muncul konsep Explainable AI (XAI), sistem yang tidak hanya memberi hasil, tetapi juga menjelaskan alasan di balik keputusannya. Pendekatan ini dipadukan dengan prinsip Human-in-the-Loop (HITL), memastikan manusia tetap menjadi pengawas terakhir dalam proses pengambilan keputusan otomatis.
Regulasi Global — EU AI Act, OECD, dan Society 5.0
Di sisi regulasi, Eropa menjadi pelopor. EU AI Act (2024) menetapkan standar global pertama yang mengklasifikasikan AI berdasarkan tingkat risikonya, dari “minimal risk” hingga “unacceptable risk.” Sistem yang mampu membuat keputusan otonom di sektor sensitif seperti perbankan, asuransi, atau kesehatan, wajib memiliki lapisan transparansi dan audit manusia. Sementara itu, OECD memperkuat kerangka Human-Centered AI, menekankan pentingnya keadilan, keamanan, dan inklusivitas sosial dalam setiap sistem otonom. Jepang pun melangkah lebih jauh dengan menerapkan nilai-nilai Society 5.0, di mana AI diarahkan untuk menyelesaikan masalah sosial, bukan sekadar memaksimalkan efisiensi ekonomi.
Namun realitas di lapangan tak semudah itu. Banyak perusahaan teknologi masih berada di zona abu-abu, di mana kecepatan inovasi jauh melampaui kecepatan regulasi. Di Amerika Serikat, misalnya, belum ada undang-undang federal yang mengatur perilaku Agentic AI secara spesifik. Hal ini menciptakan vacuum of responsibility, ruang kosong tanggung jawab yang bisa berbahaya jika sistem AI mulai bertindak tanpa kontrol etis yang jelas.
Meski begitu, arah masa depan mulai terbentuk. Dunia kini menyadari bahwa masa depan AI bukan hanya tentang kecerdasan, tapi juga kebijaksanaan digital. Bahwa setiap keputusan algoritmik harus melewati “uji nurani,” memastikan bahwa apa pun yang diputuskan sistem tetap berpihak pada manusia.
“Teknologi yang benar-benar maju bukan yang paling cepat mengambil keputusan, tapi yang paling sadar akan konsekuensi dari keputusannya.” — UNESCO, Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence (2021)
Agentic AI telah membuka peluang luar biasa, tapi juga memaksa manusia untuk menata ulang konsep tanggung jawab di era digital. Dan mungkin, inilah kali pertama dalam sejarah teknologi, kita tidak hanya dituntut untuk membuat mesin yang lebih cerdas — tetapi juga lebih berhati nurani.
Dampak Sosial & Dunia Kerja Baru: Saat AI Menjadi Rekan, Bukan Alat
Dari Otomasi ke Kolaborasi — AI Sebagai Rekan Kerja
Dunia kerja sedang mengalami pergeseran paling besar sejak era komputer masuk ke kantor. Kalau dulu mesin menggantikan tenaga manusia, kini Agentic AI mulai menggantikan cara manusia berpikir dan berkoordinasi. Namun menariknya, revolusi kali ini tidak bersifat menggantikan, melainkan menemani. AI tidak lagi sekadar alat bantu, tapi rekan kerja yang mampu berinisiatif, memahami konteks, bahkan belajar dari interaksi sosial penggunanya.
Contoh di Dunia Keuangan dan Real Estate
Perubahan ini bisa kita lihat jelas di berbagai bidang. Di dunia keuangan, misalnya, peran analis muda kini banyak didukung oleh agentic financial co-pilot, sistem yang mampu menyusun laporan, memantau risiko, dan bahkan merekomendasikan strategi investasi dengan mempertimbangkan data makroekonomi secara real-time. Namun keputusan akhirnya tetap di tangan manusia, karena sistem ini dirancang untuk berdialog dan berkolaborasi, bukan mengambil alih peran profesional finansial sepenuhnya.
Di sektor real estate dan properti, perubahan terasa lebih cepat lagi. Dulu, seorang broker bekerja manual: mencari listing, mencatat prospek, dan menyiapkan materi penawaran satu per satu. Kini, sistem agentic CRM (Customer Relationship Management) mampu memantau ribuan calon pembeli sekaligus, mengenali perilaku mereka di media sosial atau platform pencarian rumah, lalu memberi rekomendasi prioritas, siapa yang paling berpotensi membeli, kapan waktu terbaik untuk menghubungi, dan bahkan bagaimana gaya komunikasi yang paling sesuai. Dengan kata lain, AI kini menjadi rekan kerja yang memantau, menganalisis, dan mempersiapkan strategi, sementara manusia fokus pada negosiasi dan hubungan emosional.
Profesi Baru di Era Agentic AI
Transformasi ini juga menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru yang tak pernah ada sebelumnya. Muncul profesi seperti AI orchestrator, yang bertugas mengatur interaksi antar agen AI agar bekerja dalam satu tujuan. Lalu ada agentic manager, orang yang memastikan sistem AI tetap sejalan dengan nilai bisnis dan etika organisasi. Di masa depan, sertifikasi profesional bukan hanya mencakup skill analitik atau finansial, tetapi juga kemampuan mengarahkan kecerdasan buatan yang otonom. Dunia kerja bergeser dari task-based job ke AI-supervised collaboration — manusia bukan lagi operator, tapi mitra strategis bagi mesin.
 
                 
                                 
                         
                                                                                                        
                                                    
                                                    
Komentar