



RoomA21.com, Jakarta – Menariknya potensi bisnis properti adalah karena multi sektor dan potensi kapitalisasi pasarnya bisa cukup besar. Seperti yang terjadi pada tahun 2019/2020 angkanya bisa mencapai Rp251Triliun.
Perkembangan bisnis properti memang bisa di katakan tidak akan ada habisnya. Kesemua itu di karenakan sektor properti sangat terkait dengan perkembangan dan kebutuhan manusia akan papan atau rumah. Itulah sebabnya, setiap tahun kondisinya cukup bervariasi, seperti yang terjadi pada tahun 2019/2020. Besarnya nilai kapitalisasi pasarnya cukup tinggi, bahkan bisa di katakan nilainya bisa mencapai Rp251 triliun atau sebanding dengan 6% total kapitalisasi 9 sektor industri unggulan yang ada di Indonesia.
Lantas bagaimana dengan kondisi yang terjadi pada tahun 2021/2022. Saat ini kita melihat sektor properti sudah mulai kembali bergelora setelah 2 tahun terdiam karena terkena dampak covid. Kini sektor properti mencoba kembali memperlihatkan kondisi terbaiknya dengan terus bergerak naik jika kita melihat performance industrinya dalam beberapa waktu kini dan kedepan.


Dengan melihat kondisi yang ada, kita bisa menyimpulkan bahwa bergairahnya kembali sektor properti sejatinya mulai tumbuh karena adanya dukungan dari Pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Hal itu tentu kita semua tahu sebabnya, setelah adanya insentif yang di berikan oleh pemerintah sejak Maret 2021, khususnya insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) terhadap setiap pembelian rumah tapak atau unit hunian rumah susun dengan harga jual paling tinggi Rp5 miliar.
Dimana ketentuan yang terkait dengan masalah pengenaan dari insentif PPN DTP adalah seperti penjelasan berikut : (i) sebesar 100% dari PPN yang terutang atas penyerahan rumah tapak atau unit hunian rumah susun dengan harga jual paling tinggi Rp2miliar, (ii) sebesar 50% dari PPN yang terutang atas penyerahan rumah tapak atau unit hunian rumah susun dengan harga jual di atas Rp2-5 miliar. Insentif PPN DTP tersebut diberikan maksimal satu unit properti per satu orang dan tidak boleh dijual kembali dalam jangka waktu satu tahun.
Sifat bisnisnya yang tidak akan pernah mati, karena sektor properti erat kaitannya dengan kebutuhan dasar manusia yaitu penyediaan hunian yang layak. Maka wajar jika dari tahun ke tahun, pergerakan bisnis properti selalu terlihat atraktif. Hal itu terbukti dari kondisi pasar yang di prediksi nilainya bisa menyamai besarnya 6 persen dari gabungan 9 sektor industri yang ada di tanah air sebut saja misalnya : sektor keuangan, konsumsi, infrastruktur, transportasi, perdagangan dan juga investasi. Masih di tambah beberapa sektor lain seperti industri kimia dasar dan kimia, pertambangan, pertanian dan industri lainnya.


Menariknya bisnis di sektor properti memang tidak terlepas dari banyaknya kaitan bisnis ini dibanding dengan bisnis lainnya. Dimana ketika kita bicara soal bisnis properti maka kaitannya bisa terdiri dari industri konsultansi seperti industri arsitektur, interior desain, lighting dan beberapa industri konsultansi lainnya. Hal itu masih di tambah dengan dukungan industri lain seperti industri konstruksi atau kontraktor juga produsen dan industri bahan bangunan. Serta adanya sektor atau industri jasa lain seperti industri perbankan, asuransi, manajemen, dan beberapa industri lainnya.
Terkaitnya beberapa sektor industri dalam satu lingkungan bisnis di bisnis properti memang mengandung beberapa hal menarik. Seperti yang disampaikan oleh Handri Kosada, CEO Barantum. (1) Bisnis properti adalah bisnis yang mengutamakan kepuasan customer, sehingga ketika perusahaan mampu memberikan kepuasan untuk customernya maka sudah pasti customer ini akan menjadi loyal customer bagi perusahaan yang bersangkutan. (2) Kedua ada baiknya pelaku bisnis mulai mengoptimalkan pemanfaatan CRM (Customer Relationship Management). Implementasinya adalah, ketika perusahaan memiliki banyak klien baik dalam negeri ataupun luar negeri. Maka karakteristik dan potensi bisnis yang dimiliki oleh klien atau customer bisa di analisa lebih jauh. Sehingga potensi bisnis yang ada di sisi klien bisa di optimal-kan oleh perusahaan.
Sektor Pusat Perbelanjaan, Salah Satu Sektor dari 6 Sektor Properti Yang Terkena Imbas Pandemi Covid


Salah satu sektor properti yang terkena dampak pandemi corona adalah sektor retail atau pusat perbelanjaan. Sektor ini dibanding 5 sektor lainnya memang dampak negatifnya cukup terasa. Hal itu tidak terlepas dari beberapa kondisi yang mengakibatkan hal itu membawa dampak negatif bagi pelaku bisnisnya . Dari mulai (1) Penerapan PSBB ( Pembatasan Sosial Berskala Besar ) (2) Konsep bekerja dari rumah atau biasa di sebut Work From Home (WFH). Kedua hal ini pada akhirnya cukup berdampak negatif pada perkembangan bisnis di sektor retail.
Beberapa data berikut bisa menjadi salah satu bukti bagaimana sektor ini cukup terkena imbas dari pandemi virus corona : (1) Cars trafiic menurun antara 10-15% (2) Pertumbuhan shoppers traffic turun rata-rata 10% menjadi 7% saja (3) Okupansi mall turun rata-rata 10-11%. Dimana okupansi mall paling mencolok di sektor Middle-Up, Middle-Low dan Upper, bahkan HighEnd.


Memang penurunan bisnis retail di Indonesia, gaungnya sudah terdengar beberapa waktu sebelum adanya pandemi corona. Dimana akibat adanya perubahan style gaya belanja dan tren e-commerce atau belanja online pada akhirnya membuat pusat belanja mengalami kondisi yang kurang menguntungkan. Terlihat dari data yang ada, saat ini jumlah mall di seluruh Indonesia ada sekitar 250-an. Tidak semua mall berjalan dengan baik dan lancar, setidaknya ada beberapa mall atau pusat belanja yang terpaksa harus di tutup atau mengubah strategi bisnisnya. Dari beberapa nama mall besar yang melalukan restrukturisasi dan efisiensi terhadap beberapa gerainya : Hero Group (Hero dan Giant), Central Department Store, Lotus, Debenhams, Matahari, Ramayana, IKEA, dan juga 7-Eleven.
Memang jika di lihat dari tren yang terjadi pada bisnis retail, setidaknya ada beberapa tren atau pola perubahan gaya belanja masyarakat yang terjadi karena beberapa dampak seperti : (1) Daya beli konsumen/ masyarakat (2) Perubahan lingkungan dan inovasi (3) Online vs offline. Yang menarik dari ke-tiga point diatas adalah point ke dua : Perubahan lingkungan dan inovasi. Karena hal itu terjadi karena kondisi masyarakat kita yang berkembang dengan adanya kemajuan di bidang teknologi.
Pengguna internet di Indonesia melejit jadi urutan ke 6 di dunia ( mengalahkan Jepang dan Rusia) sekitar 65% dari total 267 juta jiwa. Aktivitas swafoto, online shopping, e-commerce, e-tailing, social media, serta penggunaan mobile device, gadget, laptop sebagai bentuk dari culture changes. Dan terkait bisnis retail pelanggan modern ingin service yang cepat, mudah, praktis dalam bertransaksi. Semua kanal dipadukan melalui system yang kompak dan connected satu sama lain, sehingga tercipta seamless shopping experience yang konsisten. Mulai dari toko fisik standalone, SMS, email, website, aplikasi mobile device, media sosial, public messenger, geo-targeting, sampai dengan pusat-pusat perbelanjaan (mall).)
Sehingga dengan melihat kondisi diatas, salah satu alternatif solusi yang bisa di jalankan oleh pelaku bisnis di sektor retail adalah sebagai berikut : (1) Mengubah strategi bisnisnya dengan memaksimalkan potensi pembeli secara online dengan membuat apa yang di namakan Virtual Mall ( gabungan antara online dan offline serta offline dan online). Dengan skema ini maka peluang mall dan tenantnya untuk bisa mendapatkan kembali customer yang hilang karena di tutupnya sementara mall bisa di cegah (2) Pengelola mall mesti merestrukturisasi konsep penataan data base. Karena database adalah salah satu kunci utama dalam pengelolaan mall di masa kini dan mendatang. Terlebih jika pengelola mall melakukan konsep virtual mall. Maka masalah database menjadi hal yang utama (3) Implementasi sistem IT atau penerapan teknologi yang bisa memaksimalkan fungsi dan keunggulan mall sebagai salah satu media promosi, dan penjualan produk yang ada di bisnis retail. Dan salah satu aplikasi tersebut adalah CRM ( customer relationship management )