Rooma21.com – Fasilitas penyimpanan bertemperatur rendah (cold storage) masih akan menawarkan peluang investasi jangka panjang di Asia Pasifik karena memberikan potensi imbal hasil yang menarik dan stabil serta memiliki tingkat sewa yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas aset lainnya.
Menurut JLL (NYSE: JLL), nilai investasi di sektor cold storage di Asia Pasifik diperkirakan akan melampaui $2 miliar hingga 2030 – naik dari $948 juta pada 2021 – karena investor mencoba mendiversifikasi portofolio mereka seiring dengan memanfaatkan permintaan end-user untuk fasilitas yang lebih khusus.
Antara saat ini dan tahun 2030, JLL meyakini bahwa sejumlah faktor akan mendorong pemulihan investasi pada aset penyimpanan dingin, di mana volume telah menyusut dari puncak di tahun 2021. Secara khusus, investor akan tertarik pada stabilitas yang lebih besar dari sektor ini dibandingkan dengan kelas aset lain, didukung oleh permintaan yang terus-menerus untuk barang-barang mudah rusak seperti makanan dan obat yang disimpan di fasilitas penyimpanan dingin. Selain itu, perjanjian sewa yang menarik, di mana sewa biasanya lebih tinggi daripada fasilitas logistik dan industri standar dan jangka waktu sewa lebih lama, akan menarik investor yang berpikiran maju.
Lihat Juga: Dapatkan Informasi tentang seputar Real Estate, Mortgage & Realtor di Indonesia.
Menurut analisis JLL, aktivitas transaksional di sektor penyimpanan dingin melambat dalam 12 bulan terakhir. Faktor eksternal, termasuk tingkat suku bunga yang lebih tinggi dan biaya modal yang meningkat membuat investasi properti secara umum kurang menarik di semua sektor. Dalam sektor penyimpanan beku di Asia Pasifik, volume melonjak baik untuk pusat distribusi maupun pusat penyimpanan beku pada tahun 2021, di mana harga rata-rata berada di atas rata-rata historis ($29,6 juta dibandingkan dengan $19,1 juta rata-rata 10 tahun).
Selain itu, jumlah transaksi bernilai besar mencapai rekor 32 transaksi, lebih dari dua kali lipat dari 15 transaksi tahunan rata-rata selama 10 tahun terakhir. Hingga saat ini, ukuran transaksi rata-rata adalah $16,3 juta.
“Investasi di cold storage telah menurun sejak tahun 2021 tetapi belum mencapai puncaknya. Sejumlah faktor, mulai dari perubahan struktural dalam pola konsumsi hingga pergeseran ke belanja online dan berbagai pengaruh makroekonomi, akan menopang pasar ini untuk pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan dari kelompok investor yang lebih terpilih,” kata Ben Horner, Senior Director, Supply Chain & Logistics Solutions, Asia Pasifik, JLL dalam siaran pers beberapa waktu lalu.
Peningkatan Investasi Cold Storage
Baru-baru ini, hambatan yang lebih besar untuk masuk ke dalam sektor penyimpanan dingin telah mempengaruhi aktivitas di sektor ini, tetapi akan menarik lebih banyak investor dan operator khusus ke sektor ini. Menurut analisis JLL, ada peningkatan penerimaan bahwa investasi dalam cold storage memerlukan pemahaman mendalam tentang kompleksitas unik terkait lingkungan dengan suhu terkontrol, logistik, dan kepatuhan regulasi. Akibatnya, realitas operasional ini dapat berfungsi sebagai keunggulan kompetitif bagi investor yang memiliki pengetahuan tersebut, di sisi lain menciptakan penghalang bagi investor lainnya.
Selain itu, agar sektor ini dapat memenuhi tuntutan konsumen terhadap efisiensi dan mengatasi gangguan global yang telah mengancam beberapa rantai pasokan yang kuat, investasi teknologi menjadi pertimbangan yang semakin penting bagi para investor yang membidik fasilitas penyimpanan dingin. Kemajuan dalam otomatisasi, robotika, dan efisiensi energi dapat secara signifikan meningkatkan efisiensi operasional fasilitas penyimpanan dingin dan membantu mengurangi biaya operator/penghuni seiring dengan peningkatan teknologi, menjadikannya lebih tangguh, tetapi pada akhirnya akan lebih menguntungkan bagi investor dengan pengalaman khusus.
Situasi makroekonomi juga akan mempengaruhi kebutuhan investasi di masa depan pada sektor penyimpanan dingin di Asia Pasifik. Populasi kelas menengah yang signifikan di Asia Pasifik, ditambah dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan peningkatan tingkat pendapatan, diperkirakan akan mendukung peningkatan tingkat konsumsi. Konsumsi pribadi di Asia Pasifik tumbuh dengan CAGR yang kuat sebesar 4,1% antara tahun 2013 dan 2022. Ini diperkirakan akan meningkat menjadi 4,7% antara tahun 2023 dan 2025.
“Indonesia memiliki potensi sosioekonomi yang kuat, seperti pertumbuhan jumlah penduduk kelas menengah, perkembangan industri pengolahan makanan, serta kondisi geografis, menjadikan cold storage sebagai salah satu sektor alternatif real estate yang prospektif di luar sektor pergudangan dan perumahan tapak,” kata Yunus Karim, Kepala Riset, JLL Indonesia.
Selanjutnya, di Asia, pendapatan dari pengiriman barang kelontong lebih dari dua kali lipat antara tahun 2019 dan 2022, meningkat dari $92 miliar menjadi $269 miliar. Pendapatan diperkirakan akan meningkat menjadi $453 miliar pada tahun 2025, mencerminkan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 19,1%.
Secara bersamaan, pasar logistik pihak ketiga (3PL) global mencapai nilai $556,4 miliar pada tahun 2022 dengan Asia Pasifik menyumbang sekitar sepertiga dari pasar global dan diproyeksikan untuk berkembang dengan CAGR 4,9% antara 2023 dan 2027, melebihi AS (2,1%) dan Eropa (2,2%).
“Dengan semakin berkembangnya industri cold-chain, terutama di sektor makanan dan minuman, kami mulai melihat investor-investor lokal maupun asing mencari potensi pengembangan cold storage untuk dapat membantu peningkatan pasokan cold storage di Indonesia mengingat pasokan yang masih tergolong terbatas,” pungkas Farazia Basarah, Country Head & Head of Logistic and Industrial, JLL Indonesia.
Berita Ini Merupakan Kerja Sama Antara Rooma21.com Dengan Property And Bank/Jurnalis Group
Sumber : Investasi Cold Storage di Asia Pasifik Diprediksi Tetap Tumbuh Hingga 2030