Rooma21.com – Penolakan kenaikan tarif PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) dan pajak hiburan yang termasuk dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang disahkan oleh pemerintah, masih terus menuai protes dari masyarakat, tak terkecuali para pengembang properti.
Realestat Indonesia (REI) menyoroti beberapa poin kebijakan yang termuat di dalam UU HKPD, dapat dipastikan akan semakin membebani masyarakat, pelaku usaha dan juga berpotensi menurunkan minat investasi baru. Sebagai contoh kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pajak hiburan untuk aktivitas pariwisata.
“Kami harap pemerintah untuk mengkaji ulang kenaikan tarif pajak tersebut. Ini atas pertimbangan kepentingan umum yang luas bahwa saat ini perekonomian masyarakat dan aktivitas di sektor pariwisata belum pulih sepenuhnya setelah pandemi lalu. REI menilai penerapan kebijakan tarif PBB dan pajak hiburan di UU HKPD harus ditunda,” ujar Ketua Umum DPP REI Joko Suranto, kepada sejumlah media di kawasan GBK, Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Lihat Juga: Dapatkan Informasi tentang seputar Real Estate, Mortgage & Realtor di Indonesia.
Oleh karena itu, ujar Joko, maka untuk selanjutnya perlu dilakukan kajian ulang yang lebih mendalam dengan melibatkan seluruh stakeholder termasuk menyusun formula insentifnya. Selain ekonomi masyarakat yang masih sulit, kata dia, penundaan kenaikan tarif kedua pajak tersebut juga didasari oleh kendala sumber daya manusia.
Dikatakan Joko, tidak semua daerah bisa segera membuat peraturan daerah (Perda) dan peraturan kepala daerah (Perkada) sebagai aturan teknis dari UU HKPD. Apalagi tahun ini ada pemilihan umum (Pemilu), sehingga kepala daerah dan DPRD dipastikan fokus untuk menyambut perhelatan politik tersebut.
Kenaikan tarif PBB diatur dalam UU HKPD yakni Pasal 41. Disebutkan, tarif baru PBB ditetapkan sebesar paling tinggi 0,5% atau naik dari sebelumnya paling tinggi 0,3%. Besaran pajak selanjutnya akan ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah. PBB adalah pajak terhadap lahan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan.
Sementara itu, pajak hiburan ditetapkan paling rendah 40%-75%. Ketentuan ini mengacu kepada Pasal 58 UU HKPD terkait Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Tarif PBJT ini diberlakukan untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, pijat refleksi dan mandi uap/spa. Besaran tarif pajak selanjutnya ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah.
Lebih lanjut Joko Suranto menambahkan, kenaikan tarif tertinggi PBB dari 0,3% menjadi 0,5% atau meningkat sekitar 66,67% akan membuat banyak masyarakat khususnya di kelompok tertentu seperti masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), masyarakat berpenghasilan tidak tetap, pensiunan dan orang lanjut usia di perkotaan kesulitan untuk membayar PBB.
Joko mengkhawatirkan, banyak diantara mereka yang akhirnya terpaksa menjual rumah atau tanahnya dan pindah ke pinggiran kota. Terlebih, tarif PBB baru itu belum membedakan antara tarif untuk perseorangan (non-bisnis) dan bisnis.
“Bahkan untuk dunia usaha, kenaikan tarif pajak lebih dari 66% itu sulit ditolerir. Karena saat ini kenaikan di atas 10% saja sudah meresahkan pelaku usaha properti, karena tanah tersebut dibeli dengan dana sendiri untuk dikembangkan dan kemudian diserahkan kepada pemilik rumah dan pemerintah daerah terkait fasos/fasum,” jelas CEO Buana Kassiti Group itu.
Usulan Tarif PBB
Apalagi, mayoritas pengembang saat ini masih kesulitan untuk menyelesaikan restrukturisasi utang mereka di bank akibat dampak pandemi. Oleh karena itu, REI mengusulkan agar diterapkan kebijakan tarif PBB untuk pengembang yang mempertimbangkan antara lain luas lahan, periode pengembangan, serta pengembangan infrastruktur kawasan.
“Kami mengusulkan agar kebijakan PBB untuk pengembang dengan kebijakan DPP NJOP 20% dan tarif 0,1% hanya untuk lahan yang masih belum dikembangkan dan belum diserahkan kepada pemiliknya. Sedangkan untuk lahan yang sudah diserahkan, maka pemerintah daerah dapat menerapkan tarif normal,” ujar Joko Suranto.
Dia meyakini, dengan kebijakan tersebut sektor properti mampu memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap perekonomian daerah termasuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan penyerapan tenaga kerja.
UU HKPD menyebutkan bahwa penyesuaian tarif PBB dilakukan 3 tahun sekali oleh pemerintah daerah. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) NJOP dihitung berkisar 20% sampai dengan 100%. Sementara penetapan NJOP ditetapkan berdasarkan harga rata-rata transaksi yang terjadi atau nilai NJOP sekitar jika di kawasan itu belum terjadi transaksi jual beli oleh Penilai Pajak sesuai PMK No 234/ tahun 2022.
Desak Para Menteri Kembali Bekerja
Joko Suranto juga menyoroti kebijakan ekonomi pemerintah di 2024 yang masih belum jelas termasuk untuk sektor properti. Padahal, kesinambungan program pemulihan ekonomi yang telah dicapai selama 2023 perlu terus dilanjutkan guna memenuhi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2024 sekitar 5%.
“Kami belum mendengar pernyataan menteri-menteri di bidang perekonomian mengenai apa saja stimulus dan insentif yang disiapkan pemerintah di 2024 untuk sektor properti. Justru disinsentif seperti kenaikan tarif PBB dan pajak hiburan yang dikeluarkan di awal tahun,” ujarnya.
Pernyataan resmi dari pemerintah mengenai stimulus dan insentif untuk dunia usaha di 2024 sangat ditunggu, karena diyakini akan menjadi sentimen positif untuk memacu semangat pelaku usaha bergerak meskipun di tahun politik.
“Menteri-menteri ekonomi ayo kembali fokus bekerja mengurusi ekonomi. Kami berharap mereka memperlihat etos kerja dan keseriusan untuk mendukung pertumbuhan dunia usaha, memacu investasi dan pada akhirnya nanti dapat membuka lebih banyak lapangan kerja bagi masyarakat. Salah satunya melalui sektor properti yang sudah teruji sebagai backbone bagi 185 industri lainnya termasuk industri manufaktur padat karya,” ungkap Joko Suranto.
Berita Ini Merupakan Kerja Sama Antara Rooma21.com Dengan Property And Bank/Jurnalis Group
Sumber : Dinilai Beratkan Masyarakat, REI Desak Kenaikan Tarif PBB Ditunda