Rooma21 Blog

Belum login? Masuk untuk akses penuh

Pencarian

Akun

Login Daftar

Krisis Properti Global dan Paradoks Pembangunan

04 July 2025
102 views
Krisis Properti Global dan Paradoks Pembangunan

Rooma21.com, Jakarta – Dulu, properti dianggap sebagai aset paling aman. Pepatah lama berbunyi, “beli tanah, karena Tuhan tidak menciptakan lagi yang baru.” Tapi kini, justru banyak kota-kota besar di dunia menghadapi ironi: rumah-rumah baru dibangun, tapi tak ada yang mau membeli atau tinggal di dalamnya, Krisis Properti Global!.

Fenomena ini tidak terjadi di satu dua negara saja. Di seluruh penjuru dunia, tren penurunan penjualan rumah mulai terlihat jelas. Di satu sisi, populasi dunia masih bertambah. Namun, laju pertumbuhan melambat drastis. Jumlah rumah tangga baru menurun, sementara gaya hidup generasi muda bergeser—lebih memilih menyewa daripada membeli, fokus pada karier daripada membangun keluarga.

Krisis properti kini berubah bentuk. Bukan lagi tentang kekurangan rumah, melainkan kelebihan yang tak dibutuhkan. Di China, kota-kota hantu jadi simbol pembangunan tanpa permintaan. Di Malaysia, mega proyek sepi penghuni. Di Jakarta, apartemen kosong makin banyak, bahkan saat pemerintah menargetkan pembangunan 3 juta rumah per tahun.

Fenomena Global dan Faktor Pemicu

Artikel ini akan menjelajahi fenomena global ini dari berbagai benua, membedah faktor demografi, ekonomi, hingga sosial, serta mengajak pembaca melihat lebih dekat kondisi Indonesia yang ikut terguncang. Apakah ini sekadar siklus? Atau tanda perubahan mendasar dalam cara manusia hidup dan bermukim?

Kasus China – Kota Hantu dan Developer Kolaps

Krisis properti global
China Property Investment YoY Sumber : https://tradingeconomics.com/

Selama lebih dari dua dekade, sektor properti menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi China. Investasi perumahan menyumbang hingga 25–30% dari PDB, menjadikannya salah satu proporsi tertinggi di dunia. Kota demi kota dibangun, bukan berdasarkan kebutuhan saat ini, melainkan proyeksi permintaan masa depan. Namun, ambisi besar ini kini berbalik arah menjadi krisis struktural.

Kota Hantu: Dari Simbol Pertumbuhan Menjadi Pengingat Kesalahan

Salah satu contoh paling terkenal adalah Ordos di Inner Mongolia, khususnya distrik Kangbashi. Dibangun dengan kapasitas untuk menampung satu juta orang, namun pada tahun 2016 hanya dihuni sekitar 100 ribu. Gambar-gambar gedung pencakar langit kosong, jalanan lebar tanpa kendaraan, dan mal yang tak pernah buka menjadi viral dan simbol dari apa yang disebut dunia sebagai “ghost cities”.

Menurut laporan dari South China Morning Post dan Bloomberg, China diperkirakan memiliki lebih dari 50 kota hantu—kawasan metropolitan lengkap dengan infrastruktur modern namun sepi penduduk. Ini bukan hanya soal estetika kosong, tapi juga beban ekonomi besar.

Runtuhnya Raksasa: Evergrande dan Country Garden

Krisis properti global
Sumber : https://www.statista.com/

Krisis ini mencapai puncaknya dengan kebangkrutan dua developer properti raksasa:

Evergrande, dengan utang lebih dari US$ 300 miliar, resmi gagal bayar pada tahun 2023. Perusahaan ini sebelumnya membangun lebih dari 1.300 proyek di 280 kota di China.

Country Garden, yang pernah menjadi developer terbesar di China berdasarkan penjualan, gagal membayar bunga obligasi luar negeri pada 2024, menyusul penurunan penjualan properti lebih dari 50% YoY.

Banyak unit apartemen yang telah dibeli secara pre-sale sejak 2020 belum dibangun sama sekali, memicu gelombang protes pembeli. Bahkan, beberapa proyek terpaksa ditinggalkan di tengah jalan oleh kontraktor karena developer kehabisan dana.

Demografi Menyusut, Gaya Hidup Bergeser

Faktor Demografi dan Pergeseran Gaya Hidup di China

Di balik keruntuhan pasar properti China, tersembunyi krisis yang jauh lebih dalam dari sekadar masalah gagal bayar. Akar persoalannya adalah perubahan struktur demografi dan pergeseran mendasar dalam nilai hidup generasi muda.

Selama beberapa dekade, pertumbuhan ekonomi China didorong oleh urbanisasi besar-besaran dan pembangunan masif sektor properti. Namun sejak 2022, China secara resmi mencatat penurunan populasi—yang pertama dalam enam dekade. Angka kelahiran nasional terus melorot hingga menyentuh hanya 0,72 anak per wanita pada tahun 2023. Angka ini bahkan lebih rendah dari Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang dikenal mengalami krisis kelahiran akut.

Di banyak provinsi seperti Liaoning, Heilongjiang, dan Jilin, populasi menyusut drastis lebih dari 5% hanya dalam sepuluh tahun terakhir. Artinya, jumlah keluarga baru yang biasanya menjadi pasar utama properti tidak lagi tumbuh. Banyak kota tier-3 dan tier-4 kehilangan daya tarik sebagai tempat tinggal, tetapi pembangunan hunian tetap dilanjutkan di sana, menciptakan kawasan yang dibangun tapi tak dihuni—kota hantu dalam arti sesungguhnya.

Skeptisisme Pembeli dan Respon Pemerintah yang Kurang Tepat

Selain itu, generasi muda di China menunjukkan penolakan halus terhadap pola hidup konvensional. Survei oleh China Youth Daily pada tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden usia 22 hingga 35 tahun tidak lagi menempatkan kepemilikan rumah sebagai prioritas utama dalam hidup mereka. Mereka memilih fleksibilitas dibanding komitmen jangka panjang seperti cicilan hipotek selama puluhan tahun. Gaya hidup yang lebih fokus pada kesehatan mental, pengalaman hidup, dan kebebasan finansial membuat pembelian rumah dianggap membatasi, bahkan membebani.

Mereka juga makin skeptis terhadap pasar properti pasca kegagalan sejumlah developer besar. Kepercayaan publik jatuh setelah jutaan unit rumah pre-sale yang sudah dibayar tidak kunjung dibangun. Banyak yang merasa bahwa mereka telah membeli janji, bukan rumah. Ini menciptakan trauma kolektif dan memicu gerakan boikot bayar cicilan KPR yang sempat ramai di media sosial China—fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam skala nasional.

Respon Pemerintah: Tidak Cukup Menyentuh Akar Masalah

Pemerintah pusat China merespons krisis ini dengan berbagai kebijakan pelonggaran. Bank sentral memangkas suku bunga kredit properti beberapa kali sejak 2022, sambil melonggarkan aturan pembatasan pembelian rumah di berbagai kota yang sebelumnya diberlakukan untuk mencegah spekulasi. Di sejumlah daerah, pembeli rumah pertama diberikan insentif dan subsidi, bahkan diberlakukan pemotongan pajak.

Namun semua upaya tersebut hanya bersifat jangka pendek, dan tidak menyentuh akar krisis. Pemerintah tidak melakukan audit menyeluruh terhadap stok properti kosong atau proyek yang mangkrak. Mereka juga belum membangun sistem jaminan negara bagi pembeli rumah pre-sale yang kini skeptis. Bahkan lokasi pembangunan pun tidak disesuaikan dengan realita migrasi tenaga kerja atau arah pertumbuhan ekonomi baru, sehingga permintaan tetap rendah meski harga dan bunga KPR telah diturunkan.

Kegagalan Model Pertumbuhan Berbasis Properti

Analis dari Nomura dan UBS menyebutkan bahwa yang terjadi di China bukan semata-mata perlambatan pasar, melainkan kegagalan model pertumbuhan berbasis properti. Dalam sistem yang terlalu bergantung pada pembangunan fisik untuk mengejar angka PDB, rumah diperlakukan seperti komoditas investasi, bukan kebutuhan dasar manusia. Ketika demografi berubah dan generasi baru tak lagi melihat properti sebagai 

tujuan hidup, maka bangunan-bangunan tersebut kehilangan fungsi dan nilai.

Dengan membangun terlalu banyak, terlalu cepat, dan di lokasi yang salah, China kini memanen hasil dari puluhan tahun strategi pertumbuhan yang tidak memperhitungkan keberlanjutan jangka panjang.

Case di Malaysia dan Asia Tenggara — Kota Baru yang Sunyi

Tidak hanya China, beberapa negara tetangga di Asia Tenggara juga mulai merasakan dampak dari pembangunan properti berskala besar yang tidak sejalan dengan permintaan pasar. Malaysia menjadi salah satu contoh paling mencolok dengan proyek ambisius yang kini berubah menjadi kawasan sunyi.

Salah satu proyek yang sempat menarik perhatian dunia adalah Forest City, sebuah megaproyek properti hasil kerja sama antara developer asal China, Country Garden, dan pemerintah Johor. Proyek ini dirancang sebagai kota futuristik di atas lahan reklamasi seluas lebih dari 30 km², lengkap dengan apartemen mewah, pusat perbelanjaan, marina, dan lapangan golf. Target utama pasarnya adalah ekspatriat dan warga negara China kelas menengah-atas yang ingin berinvestasi atau tinggal dekat dengan Singapura.

Namun kenyataan di lapangan jauh dari harapan. Forest City kini dikenal sebagai kawasan “sunyi tapi mewah”—gedung-gedung tinggi berdiri megah, tetapi tingkat hunian sangat rendah. 

Pada 2023, laporan dari Reuters dan South China Morning Post mencatat bahwa dari puluhan ribu unit yang sudah dibangun, hanya sebagian kecil yang ditempati. Infrastruktur sudah tersedia, tetapi kehidupan urban yang dirancang tak pernah benar-benar terwujud.

Faktor Penyebab Sepinya Forest City

Kondisi ini dipicu oleh beberapa faktor :

  • Pertama, pembeli luar negeri mulai kehilangan minat akibat regulasi investasi asing yang makin ketat, ditambah ketidakstabilan politik Malaysia dalam beberapa tahun terakhir. 
  • Kedua, warga lokal merasa harga properti di Forest City terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan daya beli mereka. 
  • Ketiga, ketergantungan proyek ini pada pasar China menjadikannya sangat rentan terhadap krisis properti yang melanda negara asal investornya sendiri.

Fenomena serupa juga muncul di negara-negara seperti Filipina dan Vietnam, di mana apartemen-apartemen mewah dibangun dalam jumlah besar untuk memenuhi permintaan investor asing, namun akhirnya menghadapi tingkat okupansi yang rendah. 

Di beberapa kota seperti Ho Chi Minh dan Manila, proyek mixed-use development yang sempat dipromosikan sebagai “kota masa depan” justru kini tampak sepi dan dijadikan objek spekulasi pasar.

Tren ini menunjukkan bahwa model “build it and they will come” tidak lagi relevan di era di mana generasi muda lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan finansial. Di banyak kota Asia Tenggara, rumah atau apartemen tidak lagi dibeli untuk dihuni, melainkan sekadar untuk “diparkirkan” sebagai aset. Ketika pasar lesu dan penyewa tak ada, properti tersebut kehilangan nilai guna.

Kita melihat pola yang sama: pembangunan dengan skala besar, didorong oleh ambisi dan investasi asing, tidak dibarengi dengan pemahaman terhadap kebutuhan lokal. Hasil akhirnya adalah kota-kota baru yang megah, tetapi kosong—kota yang hidup di atas brosur, bukan di kehidupan nyata.

Case di Indonesia – Meikarta dan Apartemen Kosong 

Indonesia tidak kebal terhadap badai properti yang melanda Asia. Di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur dan iklan hunian modern yang terus membanjiri layar digital, realitas di lapangan justru mengarah pada fenomena yang sama: proyek properti raksasa tak selesai, apartemen kosong menumpuk, dan daya beli masyarakat yang makin menurun. Salah satu simbol paling dramatis dari kondisi ini adalah proyek ambisius Meikarta.

Diluncurkan pada tahun 2017 oleh grup Lippo, Meikarta digadang-gadang akan menjadi kota mandiri baru di kawasan timur Jakarta. Dengan janji 100 tower hunian, pusat bisnis, area hiburan, hingga fasilitas pendidikan dan kesehatan berkelas dunia, proyek ini berhasil menarik perhatian ribuan pembeli. Harga pre-launch yang terjangkau serta promosi besar-besaran membuat unitnya laris manis hanya dalam waktu singkat.

Namun, proyek ini kemudian berubah menjadi mimpi buruk. Pembangunan mandek, perizinan bermasalah, dan bahkan menyeret nama besar Lippo dalam pusaran kasus suap kepada pejabat daerah. Ribuan pembeli kecewa karena unit yang dijanjikan tak kunjung rampung. Hingga 2024, sebagian tower memang telah berdiri dan dihuni, namun dalam jumlah terbatas dan jauh dari janji kota mandiri yang hidup dan lengkap.

Meikarta bukan satu-satunya. Di Jakarta, isu oversupply apartemen telah menjadi masalah kronis sejak sebelum pandemi. Menurut data dari Colliers dan Knight Frank Indonesia, tingkat kekosongan apartemen strata di Jakarta mencapai lebih dari 60% pada segmen tertentu, terutama di kawasan CBD dan area kelas menengah-atas. Di sisi lain, pembangunan terus berlangsung, dengan tambahan pasokan baru yang terus membanjiri pasar setiap tahunnya.

Krisis properti global

Fenomena ini memperlihatkan ketimpangan serius antara pasokan dan permintaan. Banyak apartemen dibangun bukan untuk dihuni, melainkan sebagai instrumen investasi. Namun sejak 2020, investor individu mulai kehilangan selera karena yield sewa yang terus turun, biaya operasional tinggi, dan stagnasi harga jual. Akibatnya, banyak unit dibiarkan kosong, tidak disewakan, tidak dijual ulang, dan akhirnya hanya menjadi aset pasif yang menyedot biaya.

Ironisnya, di saat pasar sekunder dan apartemen swasta menghadapi masalah kelebihan pasokan, pemerintah Indonesia justru gencar menjalankan program ambisius pembangunan 3 juta rumah per tahun. Tujuan mulianya jelas: mengejar backlog kebutuhan perumahan yang menurut Bappenas masih mencapai sekitar 12 juta unit. Namun banyak pengamat menilai, backlog tersebut bukan hanya soal jumlah, melainkan juga soal jenis dan lokasi hunian yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Halaman 1 dari 3
1 2 3
Bagikan:

Artikel Real Estate

Lihat Semua

Artikel Artikel Populer

Lihat Semua
Avatar Djoko Yoewono
Djoko Yoewono
Penulis Rooma21 17 artikel
Lihat Profil
Djoko Yoewono
+

Komentar

Memuat komentar...

Jangan Ketinggalan Info Properti Terbaru!

Dapatkan berita, tips, dan penawaran eksklusif langsung ke email Anda.