Titip Jual Properti di sini

Paradoks BUMN: Bonus Direksi Selangit, Kinerja Biasa Aja

  Paradoks Bumn Bonus Direksi Selangit Saat Kinerja  Saham Anjlok  Rooma21com

Rooma21.com, Jakarta – Di atas kertas, beberapa BUMN memang mencetak laba. Tapi di balik angka-angka manis itu, ada ironi besar yang tak bisa diabaikan: direksi dan komisaris menikmati bonus serta tantiem fantastis—bahkan saat kinerja perusahaan belum tentu mencerminkan keunggulan strategis.

Sebuah Ironi di Balik Laba BUMN

Yang lebih mengejutkan, deretan komisaris kini banyak diisi oleh wakil menteri aktif. Jabatan rangkap yang awalnya diklaim demi sinergi, justru makin sering terlihat sebagai “pajangan politik”, tanpa peran signifikan dalam arah bisnis atau tata kelola perusahaan. Maka tak heran jika publik mulai mencibir, “BUMN untuk siapa? Untuk rakyat atau untuk rombongan elite?”

Fenomena ini menampilkan sebuah paradoks besar dalam tubuh perusahaan milik negara: laba dibagi meriah, meski kontribusi pada ekonomi dan rakyat kian dipertanyakan. Dalam banyak kasus, bonus cair bukan karena prestasi luar biasa, melainkan karena target laba tercapai—tanpa mempertimbangkan faktor risiko, efisiensi, atau dampak jangka panjang.

Yang lebih memprihatinkan, banyak keputusan strategis terkait bonus dan tantiem justru diputuskan oleh para pejabat yang punya dua wajah: satu sebagai komisaris, satu lagi sebagai wakil pemegang saham negara. Praktik ini bukan hanya menciptakan konflik kepentingan, tapi membuka jalan lebar menuju abuse of power—atau bahkan delik korupsi.

BUMN seharusnya menjadi benteng ekonomi nasional, bukan ladang bonus untuk pejabat publik. Tapi kenyataannya, sistem remunerasi di dalamnya justru makin mirip perusahaan swasta—tanpa kesadaran bahwa BUMN tidak punya “owner” sejati selain negara dan rakyatnya. Inilah paradoks yang harus diungkap dan disorot secara terang-terangan.

Bumn
attachment caption

BUMN Itu Milik Negara, Bukan Milik Direksi

Yang sering dilupakan—atau sengaja dilupakan—oleh banyak pejabat BUMN adalah kenyataan paling mendasar: BUMN bukan milik pribadi. Tidak seperti perusahaan swasta, yang kepemilikannya jelas ada di tangan pemegang saham riil, BUMN adalah entitas publik yang sepenuhnya dimiliki oleh negara. Maka siapa pun yang duduk di kursi direksi atau komisaris sejatinya hanyalah “pegawai” yang mengelola amanah negara, bukan pemilik modal yang bisa membagi keuntungan seenaknya.

Inilah yang membedakan secara prinsipil antara perusahaan swasta dan BUMN. Dalam perusahaan swasta, logika bonus dan tantiem sangat masuk akal. Pemilik perusahaan bisa saja memberikan insentif besar kepada manajemen, asalkan kontribusinya benar-benar berdampak strategis terhadap keberlangsungan dan profitabilitas jangka panjang perusahaan.

Apalagi, di perusahaan swasta, keuntungan bersih otomatis akan jatuh ke pemilik modal. Mereka punya kepentingan langsung terhadap bottom line dan sustainability. Maka mereka tidak akan sembarangan atau sembrono dalam membagikan bonus—karena setiap rupiah yang keluar adalah uang mereka sendiri. Artinya, reward diberikan benar-benar karena kontribusi nyata, bukan sekadar pencapaian target laba minimal yang bisa dimanipulasi secara akuntansi.

Sebaliknya di BUMN, relasi itu tidak ada. Pemiliknya adalah negara, dan negara tidak bisa mengambil keputusan langsung seperti seorang pemilik saham swasta. Yang bertindak atas nama negara adalah pejabat publik, terutama di lingkungan Kementerian BUMN, yang berperan sebagai wakil pemegang saham. Dan di titik inilah muncul pertanyaan besar: apakah keputusan mereka sudah tunduk pada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good government governance)?

Setiap keputusan strategis, termasuk soal penetapan bonus dan tantiem, harusnya dilandaskan pada prinsip hukum administrasi negara, yang menekankan asas kepastian hukum, transparansi, akuntabilitas, proporsionalitas, serta kepentingan umum. Tapi dalam banyak kasus, keputusan tersebut justru terlihat bias kepentingan dan minim etika publik.

Lebih parah lagi, pejabat BUMN sering memakai logika swasta untuk membenarkan insentif mereka. Mereka berdalih: “kan laba naik, sah dong dapat bonus besar.” Padahal laba dalam konteks BUMN tidak bisa serta-merta jadi dasar pembagian bonus, karena misi BUMN tidak semata-mata mengejar keuntungan, melainkan juga fungsi sosial dan pembangunan ekonomi nasional.

Kalau direksi BUMN hanya melihat angka laba tanpa mengindahkan kualitas pertumbuhan, efisiensi kinerja, atau nilai tambah untuk masyarakat, maka mereka secara tidak langsung menyamakan BUMN dengan startup, seolah-olah mereka bekerja untuk unicorn yang punya venture capital di belakangnya—bukan rakyat.

Lebih berbahaya lagi jika para pengelola merasa berhak atas bonus karena melihat dirinya sebagai “aktor utama” kesuksesan, padahal mereka hanya eksekutor kebijakan dan pengelola dana negara. Inilah asal mula paradoks: pegawai merasa seperti pemilik, pejabat merasa seperti pengusaha.

Pola Bonus Swasta Dibajak untuk Kepentingan Pejabat Publik

Salah satu ironi terbesar dalam pengelolaan BUMN hari ini adalah adopsi mentah-mentah pola insentif ala perusahaan swasta—namun tanpa tanggung jawab dan risiko yang menyertainya. Direksi dan komisaris BUMN seolah meniru sistem reward perusahaan privat, padahal konteks dan struktur kepemilikannya sangat berbeda.

Di banyak BUMN, bonus dan tantiem diberikan dengan dasar tunggal: “laba tercapai”. Bahkan walau kenaikannya hanya margin tipis dari target sebelumnya, insentif tetap digelontorkan dalam jumlah besar. Lebih buruk lagi, dalam beberapa kasus ditemukan adanya indikasi “rekayasa pencapaian target” melalui pengaturan laporan keuangan atau penjadwalan transaksi agar angka terlihat positif di atas kertas—meskipun secara operasional belum sehat atau tidak efisien.

Pola ini mencerminkan bentuk pseudo-kapitalisme dalam tubuh negara, di mana pejabat merasa bisa menikmati buah kapital tanpa bertanggung jawab layaknya pemilik modal. Mereka mengambil logika insentif swasta, tapi menolak risiko yang melekat pada logika pasar.

Padahal dalam sistem perusahaan swasta, bonus diberikan hanya jika benar-benar ada kontribusi strategis jangka panjang—bukan sekadar memenuhi target nominal. Bonus besar di perusahaan swasta umumnya baru diberikan bila manajemen mampu:

  1. Menurunkan biaya tanpa mengorbankan kualitas,
  2. Meningkatkan nilai perusahaan (bukan cuma laba sesaat),
  3. Membuka pasar baru,
  4. Menciptakan efisiensi struktural yang berkelanjutan.

Di BUMN, justru sebaliknya. Yang sering terjadi adalah:

  1. Kenaikan laba disebabkan faktor eksternal, bukan inovasi manajemen,
  2. Margin tipis dianggap prestasi besar,
  3. Beban sosial atau publik yang dikorbankan tidak pernah dihitung sebagai biaya implisit,
  4. Reward tetap diberikan meski nilai saham ambruk atau kepercayaan publik menurun.

Lebih berbahaya lagi, insentif ini disahkan oleh Kementerian BUMN yang notabene bertindak sebagai wakil pemegang saham, namun dalam banyak kasus juga merangkap sebagai penerima bonus—karena beberapa pejabatnya duduk sebagai komisaris. Ini menciptakan anomali akut: yang mengambil keputusan adalah yang menerima manfaat.

Jika ini dibiarkan, maka logika tata kelola publik akan rusak dari dalam. Negara justru menciptakan sistem yang menormalisasi insentif tanpa evaluasi objektif, serta menjadikan BUMN sebagai ladang politik dan sumber keuntungan elite—alih-alih mesin pembangunan nasional yang profesional dan efisien.

Asas Pemerintahan yang Baik: Dilanggar di Meja Rapat BUMN

Sebagai bagian dari entitas publik, seluruh kebijakan dan keputusan strategis di tubuh BUMN wajib tunduk pada prinsip-prinsip pemerintahan yang baik—yang dikenal dengan istilah good government governance (GGG). Ini bukan sekadar jargon moral, tapi fondasi hukum dan etika yang membedakan keputusan pejabat negara dengan tindakan manajer perusahaan swasta.

Sayangnya, justru di ruang-ruang rapat BUMN—tempat di mana prinsip ini seharusnya dijaga—pelanggaran terhadap asas GGG terjadi secara terang-terangan.

Mari kita kupas satu per satu prinsipnya:

✅ 1. Asas Kepastian Hukum

Setiap keputusan pejabat publik harus memiliki dasar hukum yang sah dan jelas. Dalam banyak kasus bonus dan tantiem BUMN, keputusan remunerasi tidak berdasarkan sistem evaluasi objektif atau regulasi yang ketat. Yang terjadi adalah self-approval—direksi mengusulkan, komisaris menyetujui, dan pejabat di kementerian sebagai wakil pemilik hanya “mengamini”. Di mana dasar hukum yang mengikat jika semua pelaku adalah bagian dari lingkaran yang sama?

✅ 2. Asas Akuntabilitas

Setiap tindakan harus bisa dipertanggungjawabkan, bukan hanya secara internal, tetapi juga kepada publik sebagai pemilik sejati BUMN. Namun publik nyaris tak pernah tahu siapa mengusulkan bonus, siapa menyetujui, dan apa indikator penilaian sesungguhnya. Semuanya berlangsung tertutup, di balik lembar-lembar laporan tahunan yang teknis dan minim narasi etik.

✅ 3. Asas Transparansi

Keterbukaan adalah fondasi dari kepercayaan. Tapi di BUMN, angka bonus dan tantiem kerap dikaburkan, disisipkan sebagai “komponen remunerasi” yang sulit ditelusuri. Tidak ada konferensi pers menjelaskan logika pemberiannya, tidak ada dokumen publik yang menunjukkan evaluasi kinerja secara rinci. Semua dilakukan dalam gelap, seolah bukan perusahaan milik rakyat.

✅ 4. Asas Kepentingan Umum

Keputusan harus berorientasi pada manfaat publik, bukan elite internal. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: keputusan tentang bonus seringkali hanya memperkaya segelintir pejabat, padahal kinerja perusahaan tidak berdampak nyata terhadap kesejahteraan masyarakat. BUMN menjadi alat memperkaya kelompok tertentu, bukan alat distribusi nilai untuk negara.

✅ 5. Asas Proporsionalitas dan Kelayakan

Bonus dan tantiem harus sebanding dengan pencapaian. Jika perusahaan untung besar karena efisiensi, inovasi, atau perluasan pasar, maka bonus bisa dianggap layak. Tapi kalau hanya karena faktor eksternal seperti harga komoditas naik, atau karena intervensi pemerintah, maka pemberian bonus besar justru jadi tidak proporsional—dan etis pun tidak.

Ketika seluruh asas ini dilanggar, maka yang tersisa dari BUMN hanyalah “cangkang bisnis negara” yang dikelola dengan mental korporasi swasta, tapi tanpa tanggung jawab profesionalisme dan moralitas publik. Ini bukan hanya soal kegagalan etika, tapi juga pintu masuk bagi delik hukum—karena setiap penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara, sejatinya sudah termasuk ranah tindak pidana korupsi.

Potensi Delik  Pidana Korupsi dan Self-Dealing

Ketika pejabat negara merangkap jabatan sebagai pengelola keuangan negara—lalu ikut memutuskan pembagian insentif untuk dirinya sendiri—maka kita sedang menyaksikan bentuk paling vulgar dari konflik kepentingan. Dan dalam konteks BUMN, praktik ini bukan lagi sekadar etika yang dilanggar, tapi bisa masuk ke wilayah pidana.

⚠️ Self-Dealing di Meja Komisaris

Bayangkan skenarionya: seorang wakil menteri duduk sebagai komisaris di BUMN. Di forum rapat, ia bersama direksi menyetujui bonus dan tantiem yang jumlahnya signifikan. Ia terlibat dalam proses pengambilan keputusan, sekaligus menjadi pihak yang menerima manfaat langsung dari keputusan tersebut. Itu definisi textbook dari “self-dealing.”

Dalam hukum tata kelola korporasi, praktik seperti ini harus dihindari melalui mekanisme recusation (penarikan diri dari voting) dan pengawasan independen. Tapi dalam konteks BUMN—yang struktur pengawasannya lemah dan dominasi politiknya tinggi—mekanisme pengaman itu sering kali tidak berjalan.

🚨 Masuk ke Ranah Tipikor: Penyalahgunaan Wewenang

Menurut Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor):> “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan… dapat dipidana karena telah merugikan keuangan negara.”

Artinya, jika:

  1. Bonus dan tantiem ditetapkan tidak berdasarkan prinsip kelayakan dan proporsionalitas,
  2. Disahkan oleh orang yang memiliki kepentingan pribadi dalam keputusan tersebut,
  3. Tidak ada mekanisme kontrol atau audit independen,
  4. Dan mengakibatkan kerugian secara langsung atau tidak langsung terhadap negara atau pemegang saham publik,

Maka seluruh rangkaian itu bisa dikualifikasikan sebagai delik pidana korupsi.

Dan jangan lupa, banyak BUMN yang sahamnya sudah tercatat di bursa. Jadi selain negara, ada juga investor publik yang menjadi pemegang saham. Ketika keputusan manajemen merugikan pemegang saham non-negara, bisa jadi ini juga masuk ranah pelanggaran terhadap hak investor publik.

🧨 Rekayasa Kinerja: Laba Semu untuk Bonus Nyata

Yang lebih berbahaya, di beberapa BUMN muncul dugaan rekayasa pelaporan laba:

  1. Menunda biaya agar laba terlihat tinggi,
  2. Mempercepat pengakuan pendapatan,
  3. Mengatur transaksi afiliasi atau penjualan aset sesaat untuk memperindah laporan.

Semua ini dilakukan agar target “tercapai di atas kertas”, sehingga manajemen punya alasan untuk mencairkan bonus. Padahal, jika laporan keuangan itu tidak mencerminkan kondisi riil, maka pengambilan keputusan berdasarkan laporan tersebut bisa menjadi perbuatan melawan hukum.

Ketika pejabat publik mengambil keputusan demi keuntungan pribadinya, bukan hanya integritas sistem yang hancur—tapi juga legitimasi negara sebagai pemilik BUMN. Bonus yang dibagikan tanpa dasar objektif, melalui proses yang tidak transparan, dan dengan aktor yang tumpang tindih peran, membuka ruang bagi: Konflik kepentingan, Abuse of power, Dan delik pidana korupsi.

Pasar Bereaksi: Investor Jual, Saham Ambles

Di dunia korporasi, ada satu mekanisme penghakiman yang tidak bisa disuap, tidak bisa dinegosiasi, dan tidak bisa dibungkam: pasar. Ketika publik—terutama investor—melihat ada yang tidak beres di dalam perusahaan, mereka tidak membuat petisi atau demo. Mereka cukup melakukan satu hal sederhana: jual sahamnya.

Dan itulah yang kini terjadi di sejumlah BUMN. Di saat direksi dan komisaris sibuk merayakan “pencapaian” dengan pembagian bonus dan tantiem, harga saham perusahaan mereka justru anjlok tajam di bursa. Ada yang merosot tajam hingga diatas 30 % hanya dalam waktu satu tahun. Ini sinyal keras bahwa pasar tidak percaya lagi, bukan hanya pada 

kinerjanya, tapi juga pada tata kelola dan integritas manajemennya.

📉 Ketimpangan antara Kinerja dan Reward

Investor bukan sekadar melihat angka laba. Mereka menganalisis kualitas pertumbuhan, efisiensi biaya, dan arah strategis perusahaan. Ketika bonus direksi meroket tapi laporan arus kas melemah, margin tergerus, atau ekspansi macet, pasar membaca itu sebagai ketimpangan. Reward yang besar tanpa value yang nyata akan dianggap sebagai sinyal bahaya.

📉 Tata Kelola yang Buruk = Trust Hilang

Pasar bisa memaafkan kerugian, tapi tidak akan mentoleransi manajemen yang tidak transparan dan penuh konflik kepentingan. Ketika publik melihat pejabat rangkap jabatan ikut memutuskan bonus untuk dirinya sendiri, sinyal ke pasar sangat jelas: governance buruk. Akibatnya, saham BUMN kena governance discount—harga turun bukan karena rugi, tapi karena reputasi.

📉 Dominasi Investor Ritel: Reaksinya Cepat dan Kasar

Berbeda dari saham swasta besar yang didominasi investor institusi jangka panjang, banyak saham BUMN dimiliki oleh investor asing. Mereka lebih responsif terhadap sentimen publik. Begitu muncul kabar bonus jumbo di tengah stagnasi kinerja, mereka langsung keluar dari pasar. Dan karena jumlahnya masif, dampaknya terasa: harga saham anjlok dalam waktu singkat.

🧠 Laba Bisa Dimanipulasi, Integritas Tidak

Ironi lain muncul dari mindset sebagian direksi: mereka masih percaya bahwa selama laba naik, semuanya akan aman. Padahal tidak. Pasar tahu bahwa laba bisa dimanipulasi lewat timing akuntansi atau transaksi sesaat. Tapi integritas manajemen—itu yang jadi tolok ukur utama investor modern. Sekali reputasi rusak, butuh waktu lama untuk pulih.

💣 Efek Sistemik: Ketergantungan pada Modal Negara

Jika kepercayaan pasar terus menurun, maka dalam jangka panjang BUMN akan kehilangan daya tarik di mata investor berkualitas. Mereka akan semakin sulit mencari pendanaan murah dari publik dan ujungnya kembali bergantung pada suntikan dana dari APBN. Pada titik itu, BUMN bukan lagi alat pembangunan ekonomi nasional, tapi justru beban fiskal negara.

BUMN dan Negara, Apakah akan ditinggalkan

BUMN seharusnya menjadi wajah negara dalam urusan bisnis—simbol kehadiran pemerintah yang profesional, adil, dan akuntabel. Tapi realitas hari ini justru menunjukkan sebaliknya: BUMN makin menjauh dari rakyat, dan makin dekat dengan kepentingan elite pengelolanya.

Paradoksnya begitu telanjang. Laba perusahaan dirayakan dengan euforia, sementara publik mempertanyakan kontribusinya ke kesejahteraan. Bonus dan tantiem dibagikan tanpa malu, bahkan ketika nilai saham jatuh, efisiensi buruk, atau layanan dasar masih jadi keluhan masyarakat. Di balik papan nama “milik negara”, yang menikmati hasilnya adalah segelintir pejabat yang merasa punya hak istimewa atas lembaga publik.

Yang lebih menyedihkan, praktik self-dealing dilegalkan oleh sistem. Pejabat publik duduk sebagai komisaris, lalu ikut menandatangani dan menyetujui keputusan yang juga menguntungkan dirinya sendiri. Tidak ada batas yang jelas antara pemegang wewenang dan penerima manfaat. Mekanisme pengawasan lemah, dan ruang gelap makin leluasa.

Kalau dibiarkan, kepercayaan publik akan terus tergerus. Investor meninggalkan pasar. Rakyat kehilangan rasa memiliki. Dan akhirnya, negara yang semestinya berdaulat atas aset strategisnya, justru ditinggalkan oleh sistem yang diciptakannya sendiri.

Sudah saatnya dilakukan audit etik dan reformasi struktural besar-besaran. Bukan hanya mengevaluasi sistem remunerasi, tapi juga memisahkan secara tegas peran sebagai pengambil keputusan dan penerima insentif. BUMN bukan ladang untuk “panen jabatan”, tapi seharusnya menjadi institusi yang mencerminkan etos pelayanan publik dengan logika bisnis yang sehat.

> Karena pada akhirnya, jika BUMN ingin dihormati oleh pasar, maka BUMN harus mulai menghormati dirinya sendiri.

Harapan tetap ada. Dengan hadirnya Danantara,  sebagai super holding BUMN, yang kini sedang menjalankan agenda konsolidasi dan penyehatan tata kelola perusahaan milik negara, publik menanti arah baru yang lebih transparan, profesional, dan bebas dari konflik kepentingan. 

Mudah-mudahan carut-marut seperti yang dibahas di atas—dari bonus tak wajar, rangkap jabatan, hingga tata kelola semu—bisa dihilangkan atau setidaknya dikurangi secara signifikan ke depan.

Karena BUMN yang sehat bukan hanya soal laba, tapi soal kepercayaan. Dan kepercayaan, tidak bisa dibeli dengan tantiem, Bravo Danantara, Semoga bisa menjadikan BUMN hadir untuk Indonesia yang lebih baik.

  Rooma21 Tv  Rooma21com

Subscribe Untuk Tetap Update Artikel Terbaru!

We don’t spam! Read our privacy policy for more info.

Arsitektur

Hunian

Gardening

Slow Living

Featured Listing

Recommended Listing