Rooma21.com, Jakarta – Dulu, properti dianggap sebagai aset paling aman. Pepatah lama berbunyi, “beli tanah, karena Tuhan tidak menciptakan lagi yang baru.” Tapi kini, justru banyak kota-kota besar di dunia menghadapi ironi: rumah-rumah baru dibangun, tapi tak ada yang mau membeli atau tinggal di dalamnya, Krisis Properti Global!.
Fenomena ini tidak terjadi di satu dua negara saja. Di seluruh penjuru dunia, tren penurunan penjualan rumah mulai terlihat jelas. Di satu sisi, populasi dunia masih bertambah. Namun, laju pertumbuhan melambat drastis. Jumlah rumah tangga baru menurun, sementara gaya hidup generasi muda bergeser—lebih memilih menyewa daripada membeli, fokus pada karier daripada membangun keluarga.
Krisis properti kini berubah bentuk. Bukan lagi tentang kekurangan rumah, melainkan kelebihan yang tak dibutuhkan. Di China, kota-kota hantu jadi simbol pembangunan tanpa permintaan. Di Malaysia, mega proyek sepi penghuni. Di Jakarta, apartemen kosong makin banyak, bahkan saat pemerintah menargetkan pembangunan 3 juta rumah per tahun.
Fenomena Global dan Faktor Pemicu
Artikel ini akan menjelajahi fenomena global ini dari berbagai benua, membedah faktor demografi, ekonomi, hingga sosial, serta mengajak pembaca melihat lebih dekat kondisi Indonesia yang ikut terguncang. Apakah ini sekadar siklus? Atau tanda perubahan mendasar dalam cara manusia hidup dan bermukim?
Kasus China – Kota Hantu dan Developer Kolaps
Selama lebih dari dua dekade, sektor properti menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi China. Investasi perumahan menyumbang hingga 25–30% dari PDB, menjadikannya salah satu proporsi tertinggi di dunia. Kota demi kota dibangun, bukan berdasarkan kebutuhan saat ini, melainkan proyeksi permintaan masa depan. Namun, ambisi besar ini kini berbalik arah menjadi krisis struktural.
Kota Hantu: Dari Simbol Pertumbuhan Menjadi Pengingat Kesalahan
Salah satu contoh paling terkenal adalah Ordos di Inner Mongolia, khususnya distrik Kangbashi. Dibangun dengan kapasitas untuk menampung satu juta orang, namun pada tahun 2016 hanya dihuni sekitar 100 ribu. Gambar-gambar gedung pencakar langit kosong, jalanan lebar tanpa kendaraan, dan mal yang tak pernah buka menjadi viral dan simbol dari apa yang disebut dunia sebagai “ghost cities”.
Menurut laporan dari South China Morning Post dan Bloomberg, China diperkirakan memiliki lebih dari 50 kota hantu—kawasan metropolitan lengkap dengan infrastruktur modern namun sepi penduduk. Ini bukan hanya soal estetika kosong, tapi juga beban ekonomi besar.
Runtuhnya Raksasa: Evergrande dan Country Garden
Krisis ini mencapai puncaknya dengan kebangkrutan dua developer properti raksasa:
Evergrande, dengan utang lebih dari US$ 300 miliar, resmi gagal bayar pada tahun 2023. Perusahaan ini sebelumnya membangun lebih dari 1.300 proyek di 280 kota di China.
Country Garden, yang pernah menjadi developer terbesar di China berdasarkan penjualan, gagal membayar bunga obligasi luar negeri pada 2024, menyusul penurunan penjualan properti lebih dari 50% YoY.
Banyak unit apartemen yang telah dibeli secara pre-sale sejak 2020 belum dibangun sama sekali, memicu gelombang protes pembeli. Bahkan, beberapa proyek terpaksa ditinggalkan di tengah jalan oleh kontraktor karena developer kehabisan dana.
Demografi Menyusut, Gaya Hidup Bergeser
Faktor Demografi dan Pergeseran Gaya Hidup di China
Di balik keruntuhan pasar properti China, tersembunyi krisis yang jauh lebih dalam dari sekadar masalah gagal bayar. Akar persoalannya adalah perubahan struktur demografi dan pergeseran mendasar dalam nilai hidup generasi muda.
Selama beberapa dekade, pertumbuhan ekonomi China didorong oleh urbanisasi besar-besaran dan pembangunan masif sektor properti. Namun sejak 2022, China secara resmi mencatat penurunan populasi—yang pertama dalam enam dekade. Angka kelahiran nasional terus melorot hingga menyentuh hanya 0,72 anak per wanita pada tahun 2023. Angka ini bahkan lebih rendah dari Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang dikenal mengalami krisis kelahiran akut.
Di banyak provinsi seperti Liaoning, Heilongjiang, dan Jilin, populasi menyusut drastis lebih dari 5% hanya dalam sepuluh tahun terakhir. Artinya, jumlah keluarga baru yang biasanya menjadi pasar utama properti tidak lagi tumbuh. Banyak kota tier-3 dan tier-4 kehilangan daya tarik sebagai tempat tinggal, tetapi pembangunan hunian tetap dilanjutkan di sana, menciptakan kawasan yang dibangun tapi tak dihuni—kota hantu dalam arti sesungguhnya.
Skeptisisme Pembeli dan Respon Pemerintah yang Kurang Tepat
Selain itu, generasi muda di China menunjukkan penolakan halus terhadap pola hidup konvensional. Survei oleh China Youth Daily pada tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden usia 22 hingga 35 tahun tidak lagi menempatkan kepemilikan rumah sebagai prioritas utama dalam hidup mereka. Mereka memilih fleksibilitas dibanding komitmen jangka panjang seperti cicilan hipotek selama puluhan tahun. Gaya hidup yang lebih fokus pada kesehatan mental, pengalaman hidup, dan kebebasan finansial membuat pembelian rumah dianggap membatasi, bahkan membebani.
Mereka juga makin skeptis terhadap pasar properti pasca kegagalan sejumlah developer besar. Kepercayaan publik jatuh setelah jutaan unit rumah pre-sale yang sudah dibayar tidak kunjung dibangun. Banyak yang merasa bahwa mereka telah membeli janji, bukan rumah. Ini menciptakan trauma kolektif dan memicu gerakan boikot bayar cicilan KPR yang sempat ramai di media sosial China—fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam skala nasional.
Respon Pemerintah: Tidak Cukup Menyentuh Akar Masalah
Pemerintah pusat China merespons krisis ini dengan berbagai kebijakan pelonggaran. Bank sentral memangkas suku bunga kredit properti beberapa kali sejak 2022, sambil melonggarkan aturan pembatasan pembelian rumah di berbagai kota yang sebelumnya diberlakukan untuk mencegah spekulasi. Di sejumlah daerah, pembeli rumah pertama diberikan insentif dan subsidi, bahkan diberlakukan pemotongan pajak.
Namun semua upaya tersebut hanya bersifat jangka pendek, dan tidak menyentuh akar krisis. Pemerintah tidak melakukan audit menyeluruh terhadap stok properti kosong atau proyek yang mangkrak. Mereka juga belum membangun sistem jaminan negara bagi pembeli rumah pre-sale yang kini skeptis. Bahkan lokasi pembangunan pun tidak disesuaikan dengan realita migrasi tenaga kerja atau arah pertumbuhan ekonomi baru, sehingga permintaan tetap rendah meski harga dan bunga KPR telah diturunkan.
Kegagalan Model Pertumbuhan Berbasis Properti
Analis dari Nomura dan UBS menyebutkan bahwa yang terjadi di China bukan semata-mata perlambatan pasar, melainkan kegagalan model pertumbuhan berbasis properti. Dalam sistem yang terlalu bergantung pada pembangunan fisik untuk mengejar angka PDB, rumah diperlakukan seperti komoditas investasi, bukan kebutuhan dasar manusia. Ketika demografi berubah dan generasi baru tak lagi melihat properti sebagai
tujuan hidup, maka bangunan-bangunan tersebut kehilangan fungsi dan nilai.
Dengan membangun terlalu banyak, terlalu cepat, dan di lokasi yang salah, China kini memanen hasil dari puluhan tahun strategi pertumbuhan yang tidak memperhitungkan keberlanjutan jangka panjang.
Case di Malaysia dan Asia Tenggara — Kota Baru yang Sunyi
Tidak hanya China, beberapa negara tetangga di Asia Tenggara juga mulai merasakan dampak dari pembangunan properti berskala besar yang tidak sejalan dengan permintaan pasar. Malaysia menjadi salah satu contoh paling mencolok dengan proyek ambisius yang kini berubah menjadi kawasan sunyi.
Salah satu proyek yang sempat menarik perhatian dunia adalah Forest City, sebuah megaproyek properti hasil kerja sama antara developer asal China, Country Garden, dan pemerintah Johor. Proyek ini dirancang sebagai kota futuristik di atas lahan reklamasi seluas lebih dari 30 km², lengkap dengan apartemen mewah, pusat perbelanjaan, marina, dan lapangan golf. Target utama pasarnya adalah ekspatriat dan warga negara China kelas menengah-atas yang ingin berinvestasi atau tinggal dekat dengan Singapura.
Namun kenyataan di lapangan jauh dari harapan. Forest City kini dikenal sebagai kawasan “sunyi tapi mewah”—gedung-gedung tinggi berdiri megah, tetapi tingkat hunian sangat rendah.
Pada 2023, laporan dari Reuters dan South China Morning Post mencatat bahwa dari puluhan ribu unit yang sudah dibangun, hanya sebagian kecil yang ditempati. Infrastruktur sudah tersedia, tetapi kehidupan urban yang dirancang tak pernah benar-benar terwujud.
Faktor Penyebab Sepinya Forest City
Kondisi ini dipicu oleh beberapa faktor :
- Pertama, pembeli luar negeri mulai kehilangan minat akibat regulasi investasi asing yang makin ketat, ditambah ketidakstabilan politik Malaysia dalam beberapa tahun terakhir.
- Kedua, warga lokal merasa harga properti di Forest City terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan daya beli mereka.
- Ketiga, ketergantungan proyek ini pada pasar China menjadikannya sangat rentan terhadap krisis properti yang melanda negara asal investornya sendiri.
Fenomena serupa juga muncul di negara-negara seperti Filipina dan Vietnam, di mana apartemen-apartemen mewah dibangun dalam jumlah besar untuk memenuhi permintaan investor asing, namun akhirnya menghadapi tingkat okupansi yang rendah.
Di beberapa kota seperti Ho Chi Minh dan Manila, proyek mixed-use development yang sempat dipromosikan sebagai “kota masa depan” justru kini tampak sepi dan dijadikan objek spekulasi pasar.
Tren ini menunjukkan bahwa model “build it and they will come” tidak lagi relevan di era di mana generasi muda lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan finansial. Di banyak kota Asia Tenggara, rumah atau apartemen tidak lagi dibeli untuk dihuni, melainkan sekadar untuk “diparkirkan” sebagai aset. Ketika pasar lesu dan penyewa tak ada, properti tersebut kehilangan nilai guna.
Kita melihat pola yang sama: pembangunan dengan skala besar, didorong oleh ambisi dan investasi asing, tidak dibarengi dengan pemahaman terhadap kebutuhan lokal. Hasil akhirnya adalah kota-kota baru yang megah, tetapi kosong—kota yang hidup di atas brosur, bukan di kehidupan nyata.
Case di Indonesia – Meikarta dan Apartemen Kosong
Indonesia tidak kebal terhadap badai properti yang melanda Asia. Di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur dan iklan hunian modern yang terus membanjiri layar digital, realitas di lapangan justru mengarah pada fenomena yang sama: proyek properti raksasa tak selesai, apartemen kosong menumpuk, dan daya beli masyarakat yang makin menurun. Salah satu simbol paling dramatis dari kondisi ini adalah proyek ambisius Meikarta.
Diluncurkan pada tahun 2017 oleh grup Lippo, Meikarta digadang-gadang akan menjadi kota mandiri baru di kawasan timur Jakarta. Dengan janji 100 tower hunian, pusat bisnis, area hiburan, hingga fasilitas pendidikan dan kesehatan berkelas dunia, proyek ini berhasil menarik perhatian ribuan pembeli. Harga pre-launch yang terjangkau serta promosi besar-besaran membuat unitnya laris manis hanya dalam waktu singkat.
Namun, proyek ini kemudian berubah menjadi mimpi buruk. Pembangunan mandek, perizinan bermasalah, dan bahkan menyeret nama besar Lippo dalam pusaran kasus suap kepada pejabat daerah. Ribuan pembeli kecewa karena unit yang dijanjikan tak kunjung rampung. Hingga 2024, sebagian tower memang telah berdiri dan dihuni, namun dalam jumlah terbatas dan jauh dari janji kota mandiri yang hidup dan lengkap.
Meikarta bukan satu-satunya. Di Jakarta, isu oversupply apartemen telah menjadi masalah kronis sejak sebelum pandemi. Menurut data dari Colliers dan Knight Frank Indonesia, tingkat kekosongan apartemen strata di Jakarta mencapai lebih dari 60% pada segmen tertentu, terutama di kawasan CBD dan area kelas menengah-atas. Di sisi lain, pembangunan terus berlangsung, dengan tambahan pasokan baru yang terus membanjiri pasar setiap tahunnya.
Fenomena ini memperlihatkan ketimpangan serius antara pasokan dan permintaan. Banyak apartemen dibangun bukan untuk dihuni, melainkan sebagai instrumen investasi. Namun sejak 2020, investor individu mulai kehilangan selera karena yield sewa yang terus turun, biaya operasional tinggi, dan stagnasi harga jual. Akibatnya, banyak unit dibiarkan kosong, tidak disewakan, tidak dijual ulang, dan akhirnya hanya menjadi aset pasif yang menyedot biaya.
Ironisnya, di saat pasar sekunder dan apartemen swasta menghadapi masalah kelebihan pasokan, pemerintah Indonesia justru gencar menjalankan program ambisius pembangunan 3 juta rumah per tahun. Tujuan mulianya jelas: mengejar backlog kebutuhan perumahan yang menurut Bappenas masih mencapai sekitar 12 juta unit. Namun banyak pengamat menilai, backlog tersebut bukan hanya soal jumlah, melainkan juga soal jenis dan lokasi hunian yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pemerintah dan Develope cenderung membangun rumah di pinggiran kota, dengan harga terjangkau namun akses transportasi dan pekerjaan yang terbatas. Sementara di pusat kota dan kawasan strategis, apartemen kelas menengah-atas dibiarkan kosong karena tidak lagi terjangkau oleh mayoritas masyarakat urban. Ini menciptakan paradoks: kekurangan rumah di satu sisi, kelebihan properti tak terjual di sisi lain.
Indonesia menghadapi dilema ganda. Di satu sisi, ada kebutuhan nyata terhadap hunian terjangkau dan terhubung dengan pusat ekonomi. Di sisi lain, model pembangunan yang bertumpu pada spekulasi pasar telah menghasilkan puluhan ribu unit hunian yang tak pernah benar-benar digunakan.
Fenomena Meikarta dan apartemen kosong Jakarta seharusnya menjadi cermin bahwa pertumbuhan properti tidak bisa hanya diukur dari jumlah proyek yang diluncurkan, tetapi harus mempertimbangkan siapa yang membeli, untuk apa, dan apakah hunian itu benar-benar dihuni.
Segmen Yang Masih Membukukan Penjualan
Menurut data dari Colliers dan Knight Frank Indonesia, tingkat kekosongan apartemen strata di Jakarta mencapai lebih dari 60% pada segmen tertentu, terutama di kawasan CBD dan area kelas menengah-atas. Di sisi lain, pembangunan terus berlangsung, dengan tambahan pasokan baru yang terus membanjiri pasar setiap tahunnya.
Jika ditilik lebih dalam, segmen properti dengan harga di atas Rp 2 miliar adalah yang paling terpukul dalam dua tahun terakhir. Unit-unit di kisaran harga ini mengalami penurunan permintaan signifikan karena terbatasnya kemampuan beli dan makin selektifnya investor properti. Banyak dari mereka mulai mengalihkan dana ke instrumen lain yang lebih likuid seperti deposito tinggi bunga, saham, bahkan aset digital.
Sementara itu, segmen di bawah Rp 1 miliar—terutama rumah tapak bersubsidi atau apartemen kecil di pinggiran kota—masih mencatatkan penjualan, namun laju pertumbuhannya melambat dibanding masa sebelum pandemi. Data dari REI (Real Estate Indonesia) dan Bank Indonesia menunjukkan bahwa meski permintaan masih ada di level ini, konsumen kini lebih sensitif terhadap suku bunga KPR dan biaya-biaya tambahan. Artinya, keputusan membeli lebih banyak ditunda atau dikaji ulang secara serius oleh calon pembeli.
Menariknya, segmen yang cenderung bertahan relatif stabil justru berada di kategori harga Rp 500 juta ke bawah, terutama yang menyasar first-time buyer dan pekerja sektor formal. Namun, keterbatasan pasokan rumah terjangkau dengan akses transportasi yang baik tetap menjadi hambatan besar. Di wilayah Jabodetabek, backlog rumah terjangkau dengan kualitas layak tinggal terus menumpuk karena developer enggan masuk ke pasar margin tipis ini.
Eropa & Amerika – Harga Melonjak, Pembeli Menyusut
Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan kawasan Eropa, krisis properti bukan terjadi karena kelebihan pasokan seperti di Asia, melainkan karena harga rumah yang terlalu tinggi dan daya beli masyarakat yang tertinggal jauh. Mimpi untuk memiliki rumah di sana kini terasa makin jauh, terutama bagi generasi muda.
Di Amerika Serikat, lonjakan harga properti sempat menggila saat pandemi. Antara tahun 2020 hingga 2022, harga rumah median nasional melonjak lebih dari 40%, menurut data dari Federal Reserve Bank of St. Louis. Fenomena ini dipicu oleh suku bunga rendah dan tren work-from-home yang membuat banyak orang pindah ke pinggiran kota. Tapi begitu memasuki 2023, tren berubah drastis.
Kenaikan suku bunga yang agresif oleh The Fed membuat bunga KPR di AS melonjak ke atas 7%, level tertinggi sejak awal 2000-an. Hal ini langsung memukul daya beli. Laporan National Association of Realtors (NAR) mencatat bahwa penjualan rumah yang sudah ada (existing home sales) anjlok sekitar 19% secara tahunan pada 2023.
Pasar mendadak membeku—penjual enggan menurunkan harga karena akan terkena bunga tinggi jika beli rumah baru, sementara pembeli pun memilih menunda karena cicilan terasa tidak masuk akal.
Situasi serupa terjadi di Eropa, meski dengan karakteristik yang sedikit berbeda. Di negara-negara seperti Jerman, Belanda, dan Swedia, lonjakan harga rumah selama satu dekade terakhir sangat tidak seimbang dengan pertumbuhan pendapatan.
Di Jerman, misalnya, harga rumah meningkat hampir 60% antara 2012 hingga 2022, menurut laporan Bundesbank dan OECD. Sementara itu, gaji riil masyarakat nyaris stagnan. Ini menciptakan krisis affordability: rumah tersedia, tapi tidak lagi terjangkau.
Lonjakan ini diperparah oleh kenaikan suku bunga KPR yang tajam. Data dari European Central Bank menunjukkan bahwa bunga pinjaman rumah di kawasan euro melonjak lebih dari dua kali lipat hanya dalam satu tahun (2022 ke 2023). Akibatnya, permintaan rumah menurun tajam, bahkan di kota-kota besar seperti Amsterdam dan Paris. Banyak pengembang mulai menunda peluncuran proyek baru karena pasar tidak lagi merespons.
Di Inggris, situasinya tidak kalah berat. Harga rumah di London mencapai 12 kali lipat dari pendapatan tahunan rata-rata penduduk, menurut Office for National Statistics (ONS). Hal ini memicu gelombang migrasi keluar kota, terutama di kalangan milenial dan Gen Z, yang memilih menyewa di pinggiran atau bahkan meninggalkan kota besar demi biaya hidup yang lebih masuk akal.
Sementara itu di Eropa Timur, pasar yang sempat bergairah seperti Polandia dan Hungaria mulai stagnan sejak pertengahan 2023. Bunga KPR di Polandia sudah menembus angka 6%, dan calon pembeli memilih menunggu, menciptakan pasar yang nyaris beku.
Fenomena menarik juga muncul di kalangan investor. Banyak properti yang awalnya dibeli untuk disewakan kini kembali masuk pasar, baik dalam bentuk listing jual maupun sewa jangka pendek. Tapi lonjakan suplai ini justru menekan pasar sewa dan menaikkan harga, menciptakan krisis ganda: sulit beli, mahal sewa.
Secara keseluruhan, kawasan Amerika dan Eropa menghadapi realitas baru. Kombinasi antara suku bunga tinggi, ketimpangan harga-pendapatan, serta perubahan preferensi generasi muda membuat pasar properti tidak lagi bisa diandalkan sebagai instrumen investasi utama. Di banyak tempat, rumah kehilangan fungsi dasarnya sebagai tempat tinggal, dan makin berubah menjadi beban finansial jangka panjang.
Timur Tengah, Afrika, dan Australia – Berbeda Tapi Serupa
Meski memiliki konteks sosial dan ekonomi yang sangat berbeda, kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Australia ternyata menunjukkan gejala yang sejalan dengan krisis properti global: stagnasi pasar, harga tidak terjangkau, dan proyek pembangunan yang tidak terserap oleh pasar nyata. Ketiganya mengilustrasikan bahwa krisis properti kini bukan hanya soal kelebihan atau kekurangan rumah—tapi lebih kepada ketidaksesuaian antara kebutuhan, lokasi, dan model konsumsi generasi baru.
Di Timur Tengah, Dubai menjadi contoh klasik dari pasar properti yang sangat bergantung pada spekulasi. Setelah sempat mengalami crash besar pada 2008–2009, Dubai kembali membangun secara agresif selama satu dekade terakhir.
Menara apartemen, vila mewah, dan proyek futuristik kembali bermunculan, terutama menjelang Expo 2020. Namun, menurut laporan dari S&P Global dan Knight Frank (2024), lebih dari 30% unit baru yang diluncurkan di Dubai tidak langsung diserap oleh pasar, dan sebagian besar pembeli masih berasal dari kalangan spekulan asing.
Kendati begitu, Dubai berhasil menjaga stabilitas pasar lebih baik karena dukungan regulasi dan strategi pemasaran global. Mereka mengalihkan target dari end-user ke investor ekspatriat kelas atas, terutama dari Rusia, India, dan Tiongkok. Tetapi hal ini menciptakan pasar yang terfragmentasi: hunian ada, tapi tak relevan bagi mayoritas penduduk lokal yang justru semakin tertekan dengan biaya hidup yang tinggi.
Beranjak ke Afrika, negara-negara seperti Nigeria, Kenya, dan Afrika Selatan menghadapi tantangan berbeda. Di sana, urbanisasi berkembang pesat, tetapi daya beli masyarakat tetap rendah. Menurut data UN-Habitat dan African Development Bank, lebih dari 60% warga kota di Afrika tinggal di kawasan informal atau permukiman kumuh, bukan karena tidak ada rumah baru, tetapi karena hunian formal masih terlalu mahal dan tidak terakses infrastruktur dasar seperti air bersih atau listrik stabil. Di kota seperti Johannesburg dan Lagos, properti kelas menengah atas yang dibangun oleh developer besar justru banyak yang kosong karena tidak sesuai dengan profil mayoritas penduduk.
Krisis di Afrika menunjukkan paradoks yang unik: kebutuhan akan hunian sangat besar, tapi model bisnis properti yang diterapkan adalah model “copy-paste” dari barat—menawarkan gaya hidup eksklusif, bukan solusi fungsional.
Sementara di Australia, terutama di kota-kota besar seperti Sydney dan Melbourne, permasalahan utamanya adalah lonjakan harga rumah yang jauh melebihi pertumbuhan pendapatan.
Menurut CoreLogic Australia, pada awal 2024 harga rumah median di Sydney mencapai AUD 1,127,000, sementara pendapatan rumah tangga tahunan stagnan di kisaran AUD 90,000. Ini menjadikan rasio harga rumah terhadap penghasilan (price-to-income ratio) berada di atas 12x—angka yang dianggap tidak sehat dalam ekonomi perumahan.
Fenomena serupa muncul di sektor sewa. Biaya sewa di Melbourne naik hampir 30% hanya dalam dua tahun terakhir, berdasarkan data dari Domain Rent Report Q1 2024. Hal ini membuat banyak Gen Z dan milenial
memilih untuk tetap tinggal bersama orang tua atau berbagi flat (co-living) sebagai alternatif yang lebih rasional.
Meskipun Australia terus membangun proyek baru, pasar apartemen mengalami tekanan. Developer kesulitan menjual unit strata karena konsumen mulai ragu dengan masa depan nilai properti sebagai instrumen investasi. Bahkan beberapa proyek di pinggiran kota besar ditunda karena peminat yang minim dan ketergantungan terhadap pembeli asing yang mulai menurun sejak pandemi.
Ketiga kawasan ini memperlihatkan dinamika yang berbeda, tapi memiliki benang merah yang sama: properti tak lagi bisa dijual dengan narasi lama “harga selalu naik” atau “investasi aman jangka panjang.” Pasar menuntut sesuatu yang lebih nyata—aksesibilitas, relevansi, dan keberlanjutan.
Paradoks di Indonesia – Pembangunan 3 Juta Rumah vs Pasar yang Jenuh
Di saat pasar properti global mulai mendingin karena melemahnya permintaan, tekanan suku bunga, dan perubahan perilaku generasi muda, Indonesia justru bergerak ke arah sebaliknya.
Pemerintah meluncurkan program besar-besaran: pembangunan 3 juta rumah per tahun, didorong oleh semangat mengejar backlog perumahan nasional yang diklaim masih mencapai 12,7 juta unit. Namun jika ditelaah lebih dalam, mayoritas backlog itu—lebih dari 60%—bersifat kualitatif, artinya rumah sudah dimiliki tetapi tidak layak huni, atau jauh dari akses kerja dan fasilitas dasar. Ini disampaikan dalam laporan bersama antara Bappenas dan World Bank yang mengingatkan bahwa solusi backlog tidak semata soal menambah jumlah rumah, melainkan memperbaiki kualitas dan relevansi hunian yang ada.
Di tengah program ambisius ini, salah satu jalur utama pembiayaan adalah skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Hingga pertengahan Mei 2025, tercatat 126.138 unit rumah subsidi telah disalurkan lewat FLPP. Bahkan sejak 2010 hingga kini, total dana FLPP yang digelontorkan mencapai lebih dari Rp 151 triliun, dan realisasi per Mei 2025 sudah menembus Rp 12,59 triliun untuk 101.707 unit.
Menariknya, tren tingkat hunian rumah subsidi menunjukkan perkembangan yang cukup positif. Berdasarkan data Kementerian PUPR, pada 2022 tingkat hunian FLPP hanya sekitar 71,6%, tetapi melonjak menjadi 92,5% pada 2023, dan stabil di angka 93,6% sepanjang 2024. Ini menunjukkan bahwa segmen rumah subsidi memang dibutuhkan dan dihuni secara riil, bukan sekadar bangunan kosong.
Namun, tidak semua cerita rumah subsidi berakhir manis. Banyak proyek dibangun di lokasi terpencil, jauh dari transportasi massal, sekolah, atau zona industri. Akibatnya, tidak sedikit rumah subsidi yang walau sudah dibeli, akhirnya dibiarkan kosong karena tidak layak untuk ditinggali sehari-hari. Hal ini menjadi ironi ketika overhang properti nasional (stok properti tak terjual) juga terus menumpuk—menurut data Bank Indonesia (SHPR Q1 2024), tingkat overhang secara nasional mencapai 14,21%, dan sebagian besar berada di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan.
Kondisi ini menciptakan ketimpangan struktural. Di satu sisi, pemerintah memproduksi rumah sebanyak mungkin demi mengejar target kuantitatif, namun di sisi lain pasar swasta justru mengalami kejenuhan. Apartemen di Jakarta kelas menengah dan atas terus bertambah, tapi pembelinya stagnan.
Developer swasta tetap membangun dengan keyakinan bahwa rumah “pasti akan laku”—padahal konsumen generasi baru sekarang sangat berhati-hati, tidak mudah mengambil KPR panjang, dan tidak lagi melihat properti sebagai investasi otomatis seperti dulu.
Yang paling terdampak adalah segmen rumah tapak harga Rp 300–800 juta, yaitu produk yang sebenarnya paling dicari oleh pasangan muda dan keluarga kecil. Namun developer enggan menyentuh segmen ini karena margin terlalu kecil, dan harga tanah di lokasi strategis semakin tidak masuk akal. Alhasil, pasar sebenarnya ada, tapi tidak dilayani.
Paradoksnya semakin kentara: rumah-rumah terus dibangun, tapi banyak yang tidak dihuni; sementara jutaan keluarga urban tetap menyewa atau tinggal di rumah yang tidak layak karena tidak ada produk yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan mereka. Pemerintah mengejar angka, developer mengejar margin, tapi konsumen ditinggalkan dalam jurang mismatch yang makin lebar.
Krisis properti di Indonesia bukan tentang kekurangan rumah secara absolut, tapi tentang kekurangan rumah yang tepat, di lokasi yang benar, dengan harga yang realistis dan skema pembiayaan yang tidak menjebak.
Analisis Pakar & Teori Pendukung – Ketika Properti Tak Lagi Jadi Investasi Utama
Selama bertahun-tahun, properti dianggap sebagai safe haven—instrumen investasi yang nilainya selalu naik, tidak terpengaruh inflasi, dan bisa diwariskan lintas generasi.
Pepatah “beli tanah, karena Tuhan tidak menciptakan lagi” sering kali jadi pembenaran utama untuk keputusan membeli rumah, bahkan saat harganya sudah tidak rasional. Namun kini, keyakinan itu mulai terguncang. Baik di negara maju maupun berkembang, properti tak lagi otomatis membawa imbal hasil tinggi, bahkan makin sering jadi beban finansial.
Salah satu pendekatan utama untuk menjelaskan fenomena ini datang dari teori transisi demografi. Dalam tahap awal pembangunan ekonomi, pertumbuhan populasi tinggi dan urbanisasi mendorong permintaan besar atas hunian. Namun, saat suatu negara memasuki tahap menengah atau tinggi, angka kelahiran menurun, jumlah rumah tangga baru stagnan, dan kebutuhan hunian berkurang secara alami. Negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, Tiongkok, dan kini bahkan Indonesia, mulai mengalami fase ini. Saat jumlah anak per keluarga menyusut, kebutuhan akan rumah besar atau rumah ganda pun menurun. Bahkan, model rumah satu keluarga per unit mulai tergantikan dengan co-living atau penyewaan fleksibel.
Hal ini diperkuat oleh pergeseran pola konsumsi generasi milenial dan Gen Z. Menurut studi dari McKinsey (2023), hanya 37% dari Gen Z global yang menganggap properti sebagai instrumen investasi utama. Mereka lebih tertarik pada fleksibilitas gaya hidup, mobilitas kerja jarak jauh, serta instrumen investasi jangka pendek dan likuid seperti reksa dana, saham, atau bahkan aset digital. Di Indonesia, survei Kompas.id bersama Populix tahun 2024 menunjukkan bahwa hanya 31% milenial urban berencana membeli rumah dalam 3 tahun ke depan, sementara mayoritas lainnya memilih menyewa atau menunda keputusan sampai kondisi ekonomi membaik.
Pandangan ini diperkuat oleh data return investasi. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, yield sewa apartemen hanya berkisar 3–5% per tahun, jauh lebih rendah dibanding return rata-rata reksa dana pasar uang atau deposito digital yang saat ini bisa menyentuh 6–7% di tengah tren suku bunga tinggi. Sementara itu, beban operasional properti—seperti service charge, pajak bumi dan bangunan (PBB), biaya perawatan, hingga risiko unit tidak tersewa—menggerus keuntungan riil.
Pakar perumahan dari Universitas Indonesia, Dr. Gunawan Rachman, dalam wawancara dengan Kontan menyebutkan bahwa “properti tidak lagi bisa diperlakukan sebagai kendaraan investasi pasif. Saat ini, siapa pun yang ingin berinvestasi properti harus benar-benar memahami konteks lokasi, permintaan lokal, dan daya beli konsumen.” Artinya, properti bukan lagi game asal beli-diamkan-naikkan harga, melainkan membutuhkan pendekatan yang aktif, penuh strategi, dan realistis.
Di sisi lain, perubahan global terhadap tren sustainability juga memengaruhi persepsi terhadap properti. Proyek besar yang merusak lingkungan, reklamasi yang mengancam pesisir, atau pembangunan masif yang menyisakan jejak karbon tinggi kini tidak lagi menarik bagi generasi baru yang sangat sadar isu iklim. Hunian bukan hanya soal estetika dan lokasi, tetapi juga soal bagaimana sebuah tempat tinggal ikut menjaga masa depan bumi.
Saat ini, investasi properti bukanlah hal buruk—tetapi ia telah berubah bentuk. Ia bukan lagi jaminan untung, melainkan seperti bisnis: siapa yang cerdas membaca pasar, akan tetap cuan. Tapi bagi yang hanya ikut arus dan percaya narasi lama, bisa jadi justru terjebak dalam ilusi kepemilikan yang mahal dan tak produktif.
Di Indonesia, survei Kompas.id bersama Populix tahun 2024 menunjukkan bahwa hanya 31% milenial urban berencana membeli rumah dalam 3 tahun ke depan, sementara mayoritas lainnya memilih menyewa atau menunda keputusan sampai kondisi ekonomi membaik.
Tren ini tercermin juga dari data pasar sewa. Menurut laporan Colliers Indonesia Q4 2023, tingkat okupansi apartemen sewa di Jakarta naik menjadi 70%, meningkat dari 65% pada awal tahun. Di Surabaya, okupansi apartemen sewa bertahan stabil di angka 67–69%, sementara di Bandung justru menunjukkan tren kenaikan karena meningkatnya permintaan dari pekerja remote, mahasiswa, dan digital nomad domestik.
Lebih jauh lagi, yield sewa bersih (net rental yield) untuk properti residensial di kota besar Indonesia seperti Jakarta dan Surabaya berada di kisaran 3,5–4,8% per tahun, tergantung lokasi dan tipe unit. Angka ini masih di bawah rata-rata imbal hasil reksa dana pendapatan tetap atau deposito digital di atas 5–6% di tengah kondisi suku bunga tinggi (BI Rate 6,25% per Mei 2024).
Artinya, meskipun properti bisa menghasilkan return, daya tariknya sebagai instrumen pasif mulai menurun. Di sisi lain, populasi urban muda lebih memilih menyewa karena tidak ingin terikat cicilan panjang, terutama saat harga rumah terasa makin tidak masuk akal dibanding pendapatan mereka.
Menuju Hunian yang Lebih Relevan, Manusiawi, dan Berkelanjutan
Fenomena kota hantu, oversupply properti, hingga kehancuran developer besar di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa krisis perumahan saat ini bukan lagi soal kekurangan rumah—melainkan ketidaksesuaian antara rumah yang dibangun dan kehidupan yang dijalani manusia modern. Di banyak tempat, kita tidak sedang menghadapi “krisis pasokan”, melainkan krisis relevansi.
Generasi baru tidak lagi menempatkan rumah sebagai lambang status atau bukti kesuksesan hidup. Mereka menuntut sesuatu yang lebih masuk akal: rumah yang bisa diakses, bisa dijangkau secara finansial, berada dekat tempat kerja, ramah lingkungan, dan mendukung fleksibilitas hidup masa kini. Sementara itu, banyak developer dan pemerintah di berbagai negara masih terjebak pada pola lama—berpikir bahwa membangun dalam jumlah besar berarti menyelesaikan masalah.
Indonesia sendiri berdiri di titik kritis. Di satu sisi, masih ada kebutuhan nyata terhadap hunian terjangkau, terutama di kalangan kelas pekerja urban. Di sisi lain, kita melihat stok properti menumpuk di segmen yang tidak dibutuhkan, dan proyek-proyek besar yang justru menyisakan jejak kosong dan beban ekonomi jangka panjang. Program 3 juta rumah pertahun akan jadi sia-sia jika rumahnya salah sasaran. Proyek besar akan berakhir seperti Meikarta jika tidak membaca arah perubahan sosial.
Dunia properti ke depan menuntut paradigma baru. Bukan sekadar membangun lebih banyak, tapi membangun lebih cerdas. Bukan hanya menjual unit, tapi menciptakan lingkungan hidup yang menyatu dengan realitas generasi masa depan. Desain harus fleksibel, skema pembiayaan harus inklusif, dan lokasi harus didasarkan pada konektivitas dan potensi ekonomi lokal. Bahkan, mungkin saatnya kita beralih dari sekadar “jual beli rumah” ke sistem kepemilikan kolaboratif, sewa jangka panjang yang terlindungi, atau model co-housing berbasis komunitas.
Sebagai platform yang lahir dari semangat generasi milenial dan Gen Z, Rooma21 percaya bahwa properti bukan sekadar soal bangunan. Properti adalah cerminan bagaimana kita hidup, bekerja, dan membangun masa depan. Maka sudah saatnya industri properti tidak hanya memikirkan angka dan meter persegi, tapi juga nilai manusiawi yang ada di dalamnya.
Hunian masa depan bukan hanya layak secara fisik, tetapi harus relevan secara sosial, fleksibel secara ekonomi, dan berkelanjutan secara ekologis. Dan untuk itu, kita semua—pemerintah, developer, perbankan, dan masyarakat—perlu mulai membangun dengan pendekatan yang jauh lebih peka terhadap perubahan zaman.
Namun, di tengah banyaknya kegagalan global, ada satu negara yang justru berhasil menunjukkan arah: Singapura. Negara kota ini adalah contoh paling konkret bahwa perumahan publik bisa berhasil jika dibangun dengan strategi yang tepat dan keberpihakan nyata pada warga.
Singapura memulai program perumahan masifnya pada tahun 1960, saat mereka mendirikan lembaga Housing & Development Board (HDB). Saat itu, hanya sekitar 9% dari total penduduk yang tinggal di rumah layak huni. Negara menghadapi krisis permukiman akut, dengan banyak warga tinggal di kawasan kumuh dan rumah petak sempit. Pemerintah mengambil langkah ekstrem: mengendalikan harga tanah secara ketat, menyediakan tanah untuk proyek hunian massal, dan memfokuskan pembangunan rumah susun (flat) dengan skema kepemilikan jangka panjang selama 99 tahun.
Kini, lebih dari 80% warga Singapura tinggal di unit HDB, dan yang luar biasa, sekitar 90% dari mereka adalah pemilik rumah, bukan penyewa. Artinya, sebagian besar rakyat Singapura benar-benar memiliki atap atas nama sendiri. Program ini juga mengintegrasikan skema pembiayaan yang cermat—cicilan rumah pertama biasanya tidak melebihi 30% dari pendapatan rumah tangga, berkat dukungan langsung dari dana Central Provident Fund (CPF) dan subsidi dari negara. Ini menjadikan kepemilikan rumah bukan sekadar impian, tapi kenyataan yang terencana.
Lebih dari sekadar membangun unit fisik, pemerintah Singapura menciptakan ekosistem kehidupan urban yang lengkap dan berfungsi. Setiap kawasan hunian dilengkapi sekolah, fasilitas olahraga, ruang terbuka hijau, pusat makanan (hawker center), layanan medis, dan stasiun MRT dalam radius berjalan kaki. Inilah mengapa flat HDB tetap menjadi pilihan utama, bahkan bagi kelas menengah atas. Mereka membuktikan bahwa rumah rakyat tidak harus murahan—ia bisa layak, bermartabat, dan fungsional.
Singapura telah membuktikan bahwa jika negara hadir bukan hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai aktor aktif dalam perencanaan dan distribusi hunian, maka krisis perumahan bisa ditekan sedari awal. Model ini layak menjadi benchmark bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang masih berjuang menghadirkan rumah terjangkau dengan kualitas kehidupan yang setara.
Indonesia sendiri kini berdiri di titik kritis. Di satu sisi, masih ada kebutuhan nyata terhadap hunian terjangkau, terutama di kalangan kelas pekerja urban. Di sisi lain, kita melihat stok properti menumpuk di segmen yang tidak dibutuhkan, dan proyek-proyek besar yang justru menyisakan jejak kosong dan beban ekonomi jangka panjang. Program 3 juta rumah pertahun akan jadi sia-sia jika rumahnya salah sasaran. Proyek besar akan berakhir seperti Meikarta jika tidak membaca arah perubahan sosial.
Dunia properti ke depan menuntut paradigma baru. Bukan sekadar membangun lebih banyak, tapi membangun lebih cerdas. Bukan hanya menjual unit, tapi menciptakan lingkungan hidup yang menyatu dengan realitas generasi masa depan. Desain harus fleksibel, skema pembiayaan harus inklusif, dan lokasi harus didasarkan pada konektivitas dan potensi ekonomi lokal.
Sebagai platform yang lahir dari semangat generasi milenial dan Gen Z, Rooma21 percaya bahwa properti bukan sekadar soal bangunan. Properti adalah cerminan bagaimana kita hidup, bekerja, dan membangun masa depan. Maka sudah saatnya industri properti tidak hanya memikirkan angka dan meter persegi, tapi juga nilai manusiawi yang ada di dalamnya.
Hunian masa depan bukan hanya layak secara fisik, tetapi harus relevan secara sosial, fleksibel secara ekonomi, dan berkelanjutan secara ekologis. Dan untuk itu, kita semua—pemerintah, developer, perbankan, dan masyarakat—perlu mulai membangun dengan pendekatan yang jauh lebih peka terhadap perubahan zaman.