Titip Jual Properti di sini

Benarkah Bantuan Perumahan Sudah Tepat Sasaran?

  Bantuan Perumahan Tak Tepat Sasaran Sektor Informal  Rooma21com

Rooma21.com, Jakarta – Diatas kertas Indonesia punya ambisi besar: membangun jutaan rumah setiap tahun untuk mengejar backlog perumahan yang ta kunjung usai. Beragam program sudah digulirkan—dari FLPP, SSB, hingga insentif pajak untuk pembeli rumah pertama. Tapi pertanyaan pentingnya: apakah semua itu benar-benar menyasar mereka yang paling membutuhkan?

Di balik statistik pembangunan yang terus dikejar, ada kenyataan yang kerap luput dari sorotan: jutaan pekerja sektor informal—mulai dari pedagang kaki lima, sopir ojek online, buruh harian, hingga pekerja lepas—masih kesulitan mengakses pembiayaan perumahan. Mereka tidak masuk kategori “layak” menurut skema perbankan, tapi juga tak selalu tercatat dalam daftar penerima bantuan pemerintah. Terlalu “kaya” untuk dibantu, tapi terlalu “lemah” untuk mengakses KPR.

Sementara itu, pendekatan kita terhadap data kesejahteraan masih sangat bergantung pada angka-angka absolut: penghasilan di bawah sekian juta, jumlah anggota keluarga, dan status pekerjaan formal. Padahal, di lapangan, realita jauh lebih cair dan kompleks. Banyak warga yang penghasilannya tidak tetap tapi tetap mampu mencicil; ada pula yang penghasilannya pas-pasan tapi tidak memenuhi kriteria administratif.

“Artikel ini mencoba mengangkat satu pertanyaan sederhana tapi mendesak: apakah skema bantuan perumahan kita masih relevan dengan realita warga, khususnya mereka yang hidup di sektor informal? Karena jika tidak, maka program-program ambisius itu bisa jadi hanya menyasar mereka yang sudah cukup kuat—dan melupakan mereka yang paling membutuhkan.”

Sektor Informal: Terbesar Tapi Terlupakan dalam Akses Bantuan Perumahan

Bantuan Perumahan Tak Tepat Sasaran Sektor Informal
Bantuan Perumahan Tak Tepat Sasaran Sektor Informal

Di balik geliat ekonomi harian Indonesia, sektor informal memainkan peran vital. Data BPS (2023) mencatat bahwa lebih dari 58% tenaga kerja di Indonesia berada di sektor informal. Ini mencakup tukang, pengemudi ojek online, pedagang pasar, buruh harian, freelancer, hingga ibu rumah tangga dengan usaha rumahan. Mereka bekerja keras setiap hari, tapi tetap kesulitan mengakses salah satu kebutuhan dasar: tempat tinggal yang layak.

Masalahnya bukan semata pada penghasilan, tapi pada status pekerjaan mereka yang tidak tetap dan tidak tercatat secara formal. Bagi perbankan, ini berarti risiko. Akibatnya, mayoritas dari kelompok ini tidak bisa lolos verifikasi untuk mendapatkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), meski mampu mencicil dengan disiplin. Mereka hidup dalam “abu-abu” sistem pembiayaan: tidak miskin secara statistik, tapi tidak cukup ‘layak’ menurut sistem formal.

Pemerintah memang memiliki program rumah subsidi—seperti FLPP dan SSB—namun prosesnya masih terlalu berbasis dokumen dan birokrasi, yang membuat pekerja informal tersingkir sejak tahap awal. Bahkan banyak dari mereka tidak tahu bahwa mereka bisa mengakses skema bantuan tersebut, atau jika tahu, tidak memiliki syarat administratif untuk mengaksesnya.

“Ini menghasilkan realita yang ironis: kontribusi ekonomi besar, tapi minim peluang memiliki rumah. Banyak yang akhirnya memilih menyewa, menumpang, atau tinggal di hunian tidak layak karena tidak punya pilihan lain.”

Klasifikasi Sosial-Ekonomi yang Bias dan Tidak Adaptif

Salah satu masalah mendasar dalam distribusi bantuan perumahan di Indonesia adalah pendekatan kita dalam mengklasifikasikan kelompok masyarakat berdasarkan ekonomi. Hingga kini, lembaga keuangan masih banyak mengandalkan indikator yang cenderung kaku seperti:

  • Penghasilan tetap bulanan,
  • Status pekerjaan formal,
  • Kepemilikan slip gaji dan dokumen legal.

Sayangnya, indikator-indikator ini tidak mencerminkan realitas sosial-ekonomi hari ini yang semakin kompleks dan cair. Banyak pekerja sektor informal memiliki pendapatan setara bahkan lebih tinggi dari sektor formal, tapi tetap tidak lolos persyaratan KPR atau bantuan rumah karena “tidak masuk kriteria”.

Sebagai pembanding, Malaysia menggunakan pendekatan yang lebih fleksibel dan kontekstual dalam klasifikasi sosial-ekonominya, yaitu:

  • B40: Bottom 40% (40% penduduk dengan penghasilan terendah)
  • M40: Middle 40% (kelas menengah)
  • T20: Top 20% (lapisan atas)

Model ini bukan asal bagi rata, tapi bentuk sistem yang disebut quintile (kuintil) — pembagian populasi dalam lima kelompok ekonomi berdasarkan sebaran pendapatan. Masing-masing kelompok terdiri dari 20%, tapi Malaysia menyederhanakannya jadi tiga tingkatan besar (40–40–20) agar lebih praktis diterapkan dalam kebijakan publik.

📌 Catatan Sederhana:

Istilah quintile adalah metode statistik umum yang digunakan dalam ekonomi dan kebijakan sosial untuk membagi populasi berdasarkan tingkat pendapatan. Quintile berarti “lima bagian sama besar” (masing-masing 20%), dan kerap dipakai oleh lembaga internasional seperti World Bank, UN-Habitat, dan OECD dalam menyusun laporan ketimpangan sosial, subsidi, hingga program perumahan.

Nah, struktur 40–40–20 yang digunakan Malaysia dirancang agar kebijakan dapat:

  • Fokus pada kelompok yang paling rentan (B40),
  • Menjaga stabilitas kelompok menengah (M40),
  • Dan memisahkan lapisan atas (T20) yang ekonominya jauh lebih kuat.

Bandingkan dengan Indonesia yang masih menggunakan angka absolut. Misalnya, rumah subsidi ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan di bawah Rp4 juta. Tapi nilai ini tidak mempertimbangkan konteks wilayah atau daya beli lokal. Penghasilan Rp4 juta jelas sangat berbeda nilainya antara warga Jakarta dan kota kecil seperti Jember atau Bukittinggi.

Akibatnya, banyak kelompok masyarakat rentan tapi tidak terdata. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya lolos bantuan, bukan karena paling membutuhkan, tapi karena lebih paham cara mengakses dan memenuhi persyaratannya.

“Model klasifikasi seperti yang dilakukan Malaysia dan negara-negara lain yang berbasis distribusi relatif (quintile) bisa menjadi refleksi penting. Indonesia perlu berani meninggalkan pendekatan kuno berbasis angka tunggal dan mulai mengadopsi sistem pemetaan sosial yang lebih adaptif dan adil.”

Pendekatan Angka Absolut dan Ketimpangan Akses Bagi Sektor Informal

Skema KPR FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) sejak awal menggunakan pendekatan berbasis angka absolut untuk menentukan batas penghasilan penerima manfaat. Ketika pertama kali diluncurkan, batas maksimal penghasilan penerima ditetapkan sebesar Rp4 juta per bulan, menyesuaikan UMR saat itu. Namun, perkembangan ekonomi dan variasi UMR di tiap daerah—seperti di kawasan industri Karawang atau Bekasi—membuat angka ini jadi tidak relevan. Banyak pekerja formal bergaji UMR justru tidak lolos kriteria, meskipun tergolong sebagai Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Sebagai respons, pemerintah menaikkan batas penghasilan menjadi Rp8 juta, dan kini bahkan mendekati Rp15 juta, guna memperluas jangkauan program dan membuka akses lebih luas terhadap pembiayaan rumah bersubsidi. Meskipun langkah ini secara substansi mengarah ke segmentasi sosial-ekonomi seperti model B40/M40/T20 di Malaysia, pendekatannya tetap bersifat nominal dan belum berbasis analisis sebaran pendapatan masyarakat. Yang menjadi tantangan utama saat ini adalah ketimpangan akses bagi sektor informal. Walaupun tidak ada larangan eksplisit, dalam praktiknya pengajuan KPR dari sektor informal lebih sering ditolak atau sulit diproses. Hal ini terjadi karena sebagian besar pelaku industri perbankan masih mengedepankan bukti penghasilan tetap dan formal, seperti slip gaji dan laporan pajak.

“Padahal, data BPS menunjukkan bahwa lebih dari separuh tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal. Tanpa adanya perubahan kebijakan internal di industri perbankan atau inovasi pembiayaan yang lebih inklusif, kelompok ini akan terus tertinggal dalam akses kepemilikan rumah. Di sinilah diperlukan terobosan: baik dalam bentuk lembaga penjamin, penguatan data pendapatan non-formal, maupun instrumen kredit alternatif yang lebih adaptif terhadap realitas mayoritas masyarakat Indonesia.”

Pendekatan Yang Dapat Digunakan Untuk Indonesia Ke Depan.

Bantuan Perumahan Tak Tepat Sasaran Sektor Informal
Bantuan Perumahan Tak Tepat Sasaran Sektor Informal

🧭 FLPP: Dari Fokus MBR ke Perluasan Sasaran

Awalnya, FLPP menetapkan batas penghasilan maksimal penerima manfaat sebesar Rp 8 juta per bulan.  Namun, usulan terbaru mendorong agar batas ini dinaikkan hingga Rp 15 juta per bulan.  Tujuannya adalah untuk menjangkau kelompok masyarakat berpenghasilan menengah bawah yang belum terakomodasi dalam program perumahan subsidi. 

Meskipun niatnya untuk memperluas akses, perluasan ini berisiko mengalihkan fokus dari kelompok yang paling membutuhkan, yaitu mereka yang berada di sektor informal dan berpenghasilan rendah.  Tanpa pendekatan yang tepat, kelompok B40 bisa semakin terpinggirkan dalam akses terhadap perumahan layak. 

🧩 KPR MLT: Solusi untuk M40?

Untuk mengakomodasi kelompok M40 (Middle 40%), pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan telah meluncurkan program Manfaat Layanan Tambahan (MLT).  Program ini menawarkan fasilitas pembiayaan perumahan dengan plafon hingga Rp 500 juta dan suku bunga kompetitif, yang ditujukan bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan yang telah memenuhi syarat tertentu.  MLT dapat menjadi alternatif bagi pekerja formal yang tidak termasuk dalam kategori MBR namun tetap membutuhkan dukungan dalam pembiayaan perumahan. 

🔍 Rekomendasi: Segmentasi Program Berdasarkan Kelompok Sasaran

Agar program perumahan subsidi lebih tepat sasaran, disarankan untuk melakukan segmentasi program berdasarkan kelompok sasaran: 

FLPP: Tetap difokuskan untuk kelompok B40, termasuk pekerja sektor informal, dengan pendekatan yang lebih inklusif dan mempertimbangkan realitas penghasilan mereka. 

KPR MLT: Diarahkan untuk kelompok M40, dengan memanfaatkan dana dari BPJS Ketenagakerjaan dan skema pembiayaan yang sesuai dengan kemampuan mereka. 

Program Khusus: Dikembangkan untuk kelompok T20 (Top 20%) atau masyarakat berpenghasilan tinggi, dengan skema pembiayaan komersial yang sesuai. 

“Dengan segmentasi yang jelas, setiap kelompok masyarakat dapat memperoleh akses terhadap perumahan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka, tanpa mengorbankan kelompok yang lebih membutuhkan.”

Menghindari Kesalahan Sistemik: Saatnya Menghitung Ulang Strategi Perumahan

Kalau kita tarik benang merah dari pengalaman beberapa negara dan kebijakan yang sudah berjalan, Indonesia berada di persimpangan penting. Di satu sisi, ada ambisi besar: membangun 3 juta rumah setiap tahun. Di sisi lain, ada kenyataan lapangan: masih banyak rumah kosong di segmen menengah ke atas, backlog kepemilikan hunian tak kunjung turun drastis, dan sektor informal masih kesulitan mengakses pembiayaan.

Permasalahan ini bukan hanya soal angka produksi rumah, tapi juga menyangkut arah pembangunan dan ketepatan sasaran. Banyak pengembang besar masih terpaku pada asumsi lama: “bangun saja, nanti juga terjual.” Pola ini mirip dengan apa yang terjadi di China, di mana pembangunan masif tanpa perhitungan kebutuhan aktual penduduk berujung pada kota-kota hantu.

Jika Indonesia tak berhati-hati, bukan tidak mungkin akan mengalami “mini ghost towns” versi sendiri — perumahan cluster yang tidak terisi, apartemen kosong bertahun-tahun, dan pembangunan komersial tanpa penghuni.

Yang perlu dihitung ulang bukan hanya target angka, tapi:

  • Segmentasi pasar: Siapa yang benar-benar butuh rumah dan mampu membayar?
  • Model kepemilikan: Apakah masyarakat lebih butuh sewa, sewa beli, atau kepemilikan langsung?
  • Ekosistem pembiayaan: Apakah KPR masih relevan untuk semua segmen?
  • Kolaborasi swasta-pemerintah: Apakah kebijakan sudah cukup mendorong developer untuk ikut melayani segmen bawah dan informal?

Artinya, “kebijakan perumahan tidak bisa dipukul rata. Dibutuhkan segmentasi, data mikro, pemetaan kebutuhan real, dan inovasi pembiayaan agar pembangunan perumahan benar-benar menjadi solusi, bukan justru menciptakan masalah baru.”

Sektor Informal: Mayoritas yang Terpinggirkan

Mayoritas masyarakat Indonesia justru bekerja di sektor informal—mereka yang tak punya slip gaji, seperti pedagang kecil, driver ojol, pengusaha mikro, buruh harian, dan pekerja lepas. Tapi justru kelompok ini yang paling sulit mendapatkan akses pembiayaan rumah seperti KPR subsidi (FLPP).

Kenapa? Karena sistem pembiayaan di Indonesia masih terlalu formalistik. Bank tetap mensyaratkan dokumen seperti slip gaji, surat keterangan kerja, dan riwayat rekening yang stabil—semua hal yang tidak dimiliki pelaku sektor informal.

Padahal, jika ditelisik dari kemampuan membayar, banyak dari mereka sebenarnya punya cashflow yang cukup untuk mencicil rumah sederhana. Ini pernah disampaikan oleh lembaga riset INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) dan SMERU Research Institute, dua lembaga independen yang selama ini fokus pada riset ekonomi dan 

kebijakan sosial di Indonesia. Mereka menilai bahwa tantangan utama bukan pada ketidakmampuan membayar, tapi pada rigid-nya syarat administratif.

Sayangnya, belum ada lembaga formal yang secara khusus menjembatani sektor informal ke sistem pembiayaan properti. Berbeda dengan negara seperti Thailand yang memiliki Government Housing Bank (GHB), yang menyediakan produk pembiayaan khusus untuk kelompok informal dengan skema lebih fleksibel.

Lebih dari itu, program FLPP di Indonesia kini makin bergeser. Awalnya ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan setara UMR, kini rentangnya diperluas hingga Rp8–15 juta per bulan, dengan alasan memperluas jangkauan program 3 juta rumah. Akibatnya, subsidi justru berpotensi lebih banyak dinikmati kelompok M40, bukan lagi B40 yang seharusnya jadi prioritas.

“Kalau pendekatan ini tidak diubah, sektor informal akan tetap jadi mayoritas yang tercecer. Padahal mereka bukan tidak mampu, hanya tidak punya pintu masuk ke sistem yang ramah terhadap realita mereka.”

Segmen Menengah: Di Tengah Jalan, Tapi Terlupakan

Kalau segmen bawah masih disasar lewat program FLPP (meskipun belum sepenuhnya tepat sasaran), dan segmen atas relatif mampu beli properti tanpa bantuan negara, maka segmen menengah justru jadi kelompok paling “gantung.” Mereka tidak cukup miskin untuk menerima subsidi, tapi juga tidak cukup kaya untuk membeli properti secara mandiri di tengah harga rumah yang terus melambung.

Kelompok menengah ini umumnya terdiri dari pasangan muda, profesional baru, atau keluarga kecil dengan penghasilan Rp8–20 juta per bulan. Secara hitung-hitungan, mereka sebenarnya mampu mencicil rumah, tapi terbentur uang muka tinggi, bunga KPR yang fluktuatif, serta mahalnya biaya-biaya lain seperti asuransi, notaris, dan BPHTB.

Salah satu inisiatif yang sempat diusulkan untuk menjangkau kelompok ini adalah KPR MLT (Manfaat Layanan Tambahan) yang didanai dari BPJS Ketenagakerjaan. Program ini punya potensi besar karena memanfaatkan dana peserta pekerja formal untuk membantu pembelian rumah pertama. Sayangnya, hingga kini implementasinya belum berjalan maksimal. Banyak pekerja bahkan tidak tahu kalau mereka punya hak atas program tersebut, sementara pihak developer dan bank belum banyak yang siap memfasilitasinya.

Di sisi lain, model rent-to-own (sewa dengan opsi membeli) bisa menjadi solusi untuk kelompok ini. Tapi, seperti dibahas di artikel sebelumnya, model ini masih terhambat oleh tingginya cost of entry di Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, di mana pemerintah ikut menanggung sebagian risiko dan menciptakan skema pembiayaan jangka panjang yang ramah konsumen.

“Tanpa adanya terobosan pembiayaan yang inklusif untuk kelas menengah, mimpi punya rumah akan makin jauh. Program bantuan properti masih terlalu fokus ke dua kutub ekstrem—subsidi atau high-end—tanpa ada skema jembatan untuk mereka yang “di tengah jalan.”

Saatnya Berubah: Reformasi Data, Skema, dan Kemauan Politik

Krisis perumahan di Indonesia—terutama bagi segmen informal dan menengah—bukan sekadar soal harga rumah atau kurangnya pasokan. Masalah utamanya terletak pada basis data, desain program yang stagnan, dan kemauan politik yang belum cukup kuat untuk membuat terobosan struktural.

Pertama, klasifikasi berbasis angka absolut seperti “penghasilan maksimal Rp4 juta” untuk FLPP, lalu dinaikkan menjadi Rp8 juta dan bahkan Rp15 juta, tampak longgar dan progresif di permukaan. Tapi ini membuka ruang bias, terutama bila tidak mempertimbangkan tingkat biaya hidup tiap daerah, status pekerjaan informal, dan kebutuhan rumah 

tangga riil. Pendekatan seperti di Malaysia dengan model B40, M40, dan T20 yang berbasis kuintil distribusi pendapatan menawarkan presisi lebih tajam—dan bisa di-update secara periodik.

Kedua, program FLPP dan skema bantuan lainnya masih terlalu fokus pada sektor formal. Padahal menurut data SMERU dan INDEF, lebih dari 58% tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal. Artinya, sebagian besar masyarakat pekerja rentan tidak punya akses ke program perumahan karena kendala administratif seperti ketiadaan slip gaji atau bukti penghasilan yang dibutuhkan bank.

Ketiga, kemauan politik untuk reformasi juga belum cukup kuat. Pemerintah memang menargetkan pembangunan 3 juta rumah per tahun, namun tanpa pemisahan jelas antara pembangunan rumah baru, renovasi, dan program kepemilikan ulang, program ini jadi kabur arahnya, belakangan program 3 juta rupiah dipertajam tidak melulu untuk rumah baru, tapi juga untuk renovasi dan pekerja sektor informal. 

Program seperti KPR MLT (Manfaat Layanan Tambahan) yang semestinya memanfaatkan dana BPJS Ketenagakerjaan pun hingga kini belum berjalan maksimal, padahal bisa menjadi opsi pembiayaan bagi kelompok menengah.

Keempat, lembaga keuangan masih belum memiliki “risk appetite” yang sehat untuk segmen informal. Di banyak negara, solusi pembiayaan berbasis komunitas, koperasi, bahkan model rent-to-own (sewa-beli) sudah berkembang dengan baik karena adanya sistem penjaminan dan dukungan institusi publik. Sementara di Indonesia, ekosistem ini masih prematur.

Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Negara seperti Singapura justru menunjukkan bahwa reformasi total di bidang perumahan bisa memberikan hasil luar biasa. Dengan program Housing & Development Board (HDB) yang dibentuk sejak 1960, Singapura berhasil menyediakan hunian terjangkau dan layak untuk hampir seluruh warganya. Tingkat kepemilikan rumah di Singapura saat ini mencapai lebih dari 90%, tertinggi di dunia. Kuncinya bukan hanya pada pembangunan masif, tapi 

juga pada desain sistem yang adil, efisien, dan berbasis data. Mereka membuat klasifikasi warga berdasarkan status ekonomi dan kebutuhan keluarga, mengintegrasikan skema tabungan wajib (CPF), serta mengontrol harga jual unit melalui intervensi pemerintah yang presisi.

“Apa yang dilakukan Singapura tentu tidak bisa serta-merta diterapkan di Indonesia. Tapi prinsip dasarnya tetap relevan: rumah tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas semata, melainkan sebagai hak dasar warga negara. Dan untuk itu, perlu keberanian politik, reformasi institusional, serta sistem yang berpihak kepada yang tak punya akses.”

Rumah untuk Siapa, dan Sampai Kapan?

Di tengah euforia pembangunan dan target jutaan rumah, kita perlu bertanya dengan jujur: rumah yang dibangun itu untuk siapa? Apakah benar menyasar mereka yang paling membutuhkan, atau justru tersangkut di rak display pameran properti, menunggu investor dan spekulan?

“Realita yang kita hadapi hari ini adalah kombinasi antara over-supply di segmen menengah ke atas, backlog struktural di segmen bawah, dan kemandekan akses perumahan bagi sektor informal.” Sementara itu, generasi muda, terutama Gen Z dan milenial urban, mulai menghindari kepemilikan rumah karena terlalu mahal, terlalu rumit, dan tidak fleksibel.

Krisis perumahan bukan hanya masalah angka backlog atau tidak tercapainya target pembangunan. Ia adalah cermin dari ketimpangan struktural, kebijakan yang tidak adaptif, dan ketidakmampuan negara (dan pasar) menjangkau mereka yang paling lemah posisinya. Maka, pendekatan baru harus dibangun—bukan hanya memperbanyak rumah, tapi mendesain ulang sistem agar akses terhadap hunian layak benar-benar setara.

Belajar dari negara-negara seperti Singapura, kita tahu bahwa kunci keberhasilan bukan sekadar anggaran besar, tapi data yang presisi, 

segmentasi yang tajam, dan kemauan politik untuk memihak. Tanpa itu, pembangunan rumah akan terus jadi proyek fisik—tanpa menjawab krisis manusia yang tinggal di baliknya.

“Sekarang, saatnya kita bertanya lebih dalam: mau sampai kapan rumah menjadi mimpi yang makin jauh bagi sebagian besar rakyat Indonesia?”

  Rooma21 Tv  Rooma21com

Subscribe Untuk Tetap Update Artikel Terbaru!

We don’t spam! Read our privacy policy for more info.

Arsitektur

Hunian

Gardening

Slow Living

Featured Listing

Recommended Listing